Minggu, 09 Desember 2018

naskah pidato


Pembuka :
Bismillahirrohmanirrohim, 
Assalamu’alikum Warahmatullahiwabarakatuh,
Yang terhormat Bapak dan Ibu guru,
serta teman-teman yang sangat berbahagia.
Puji syukur kita panjatkan Kehadirat  Allah SWT.  yang telah  memberi kita kesehatan dan kekuatan untuk bisa berkumpul di tempat ini. Salawat serta salam tak lupa kia haturkan kepada  junjungan nabi besar Muhammad SAW.  yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang menderang seperti saat ini.  
Hadirin sekalian,
Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk menyampikan pidato tentang menuntut ilmu.
Isi   :  
Hadirin yang berbahagia ,
Dalam mencari ilmu allah sendiri pernah menguji para malaikat –malaikat-Nya.bahwa tidak seseorang pun di dunia ini yang mempunyai ilmu pengetahuan kecuali hanya Allah dan sebagian ilmu yang kita miliki ini adalah titipan Allah bahkan malaikat pun tidak memiliki ilmu pengetahuan selain apa yang di ajarkan kepadannya  kar. Oleh karena itu kita tidak boleh sombong dengan pengetahuan yang kita miliki bahkan dengan apapun yang kita miliki, kita tidak boleh sombong.
Sebagian dari keutamaan orang mencari ilmu adalah dimudahkan serta dibimbing melalui jalan menuju kebenaran. Betapa penting orang menuntut ilmu,sehingga diberikan pengetahuan yang luar biasa. Peranan  pelajar juga sangat penting ,sehingga orang bersamanya duduk menimba ilmu pengetahuan darinya walaupun hanya satu jam saja itu  lebih baik daripada pahalanya dalam beribadah selam seribu tahun .
Penutup  :
Hadirin sekalian,
Demikianlah pidato yang dapat saya sampaikan saya berharap kita semua semakin giat dalam menuntut ilmu karena sesungguhnya menuntut ilmu hukumnya wajib. Sekian dan terima kasih.


PAHLAWAN WANITA

Engkaulah Kartiniku….
Habis gelap terbitlah terang
EngkaulahKartiniku….
Namamu bagaikan motivasiku…
Buku mumengubah dunia wanita…
Mengubah kejayaan wanita…
Mengubah sejarah di masa lampau…

Kartiniku….
Sungguh elok rupamu
Sungguh mulia hatimu…
Sungguh besar perjuanganmu untuk wanita…

Wahai Kartiniku….
Ingin rasanya kau hadir kembali…
Yang memberi jiwaku semangat…
Dan kembali mengingatkanku….
Jasamu telah terkenang dalam insan pertiwi…

Kau perempuan tangguh…
perempuan pemberani…
perempuan hebat….
Perempuan terdepan…
Perempuan terkekang...
Perempuan merdeka…

Atas nama harga diri wanita
Ia rela terhina…
Terbuang…
Terkekang…
Oleh mereka yang mengkianati….

Betapa mulia perjuanganmu
Betapa agung pengorbananmu
Betapa besar jasamu

Namamu bagaikan do’a yang selalu dipanjatkan
Namamu bagaikan adzan yang selalu dikumandangkan
Namamu seperti lukisan yang penuh warna

Hujan tiada henti menghampirimu
Kau perlahan menyelimuti dirimu
Adat dan budaya bepilih kasih
Hak wanita batasi olehnya

Maafkan ia yang terlalu tenggelam dalam kesibukannya
Yang hampir melupakan jasa-jasamu
Tapi….
Lihatlah wanita sekarang ini
Ia terus berjuang membawa harga diri wanita
Ia menghormati perjuangan telah kau lakukan
Tiada yang beda antara kami dan mereka

Kartini oh kartini…
Inspirasimu bagaikan ilmuwan-ilmuwan masa lampau
Semangatmu membara bagaikan api yang menyala
Sinarmu bagaikan matahari yang menyinari dunianya

Demi nama harga diri wanita
Jerih payahmu…
Keringatmu….
Tenagamu rela kau korbankan

Karitini kau insprisasi wanita…
Kau insprisi semangatku…
Kau ibu bagi kami….
Hingga kau tunjukkan pada kami
Bahwa benar…
Habis gelap terbitlah terang

Raden… yang terhormat
Ajeng... dirimu yang indah nan elok
Kartini… itulah nama yang dikenal
Namamu bunga penuh kenangan…




TUGAS PANCASILA
Essay
Budaya Masyarakat Muna
Dalam Mengamalkan Sila-Sila Pancasila”


OLEH:
            NAMA            :           SURYANINGSIH
STAMBUK   :           D1B118044
KELAS          :           AGROTEKNOLOGI-B


PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
Budaya Masyarakat Muna
Dalam Mengamalkan Sila-sila Pancasila

Indonesia berpegang teguh kepada pancasila sebagai dasar negara yaitu suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara atau penyelenggaraan negara atau sering disebut pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Pancasila mengandung nilai-nilai yang terbuka tetapi positif sesuai dengan perkembangan bangsa Indonesia sehingga pancasila sangat erat kaitannya dengan budaya khususnya dalam hal pengamalan ke lima sila-sila pancasila.
 Budaya merupakan seperangkat nilai-nilai inti, kepercayaan, standar, pengetahuan, moral hukum, dan perilaku yang disampaikan oleh individu - individu dan masyarakat, yang menentukan bagaimana seseorang bertindak, berperasaan, dan memandang dirinya serta orang lain” pendapat ini dikemukakan oleh Mitchel. Artinya sebuah perilaku atau tindakan untuk dirinya atau orang lain akan di dasari dengan sebuah pengetahuan baik itu berupa kepercayaan atau moral yang sesuai dengan hukum. Dengan kata lain segala tindakan yang kita lakukan harus sesuai dengan akal yang sehat dan mengikuti aturan yang berlaku.
Suatu daerah tentu lahir dari rahim budaya yang begitu beragam dengan keunikan dan kekhasan masing sebagai wujud khasanah budaya. Sulawesi Tenggara sebagai kawasan wilayah Timur Indonesia juga memiliki potensi budaya dari ragam etnik/suku yang ada, diantaranya Muna, Bugis, Buton, dan Tolaki. Masing-masing daerah membawa karakteristik budaya yang unggul dan berbeda dengan etnik lain di tiap daerah. Berikut disajikan keunggulan budaya yang khas dan potensial salah satu daerahnya yaitu etnik Muna. Aspek budayanya mencakup asal-usul dan adat istiadat, sopan santun dan ucapan salam sebagai bentuk dari kearifan lokal, aneka kesenian, permainan tradisional, pakaian daerah, rumah adat, aneka makanan tradisional, perayaan, serta cerita rakyat.
Pengamalan nilai-nilai pancasila pada budaya masyarakat Indonesia dapat dilihat dari budaya masyarakat Muna. Muna adalah salah satu suku yang berada di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan jumlah yang cukup banyak dan tersebar di seluruh kabupaten kota. Masyarakat muna dalam menjalankan budayanya baik dari segi kebiasaan dan adat istiadat mencerminkan pengamalan sila-sila pancasila.

1.      Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sila Pertama Pancasila memiliki nilai yang amat luhur, demikian pula halnya dengan sila- sila yang lainnya. Makna inti yang terkandung dalam sila pertama ini terdapat pada kata ketuhanan. Ketuhanan berasal dari kata Tuhan, ialah Allah, pencipta segala yang ada dan semua mahkluk. Yang Maha Esa berarti Yang Maha Tunggal, tiada sekutu: esa dalam zat-Nya, esa dalam sifat-Nya, esa dalam perbuatan-Nya, artinya bahwa dalam zat Tuhan tidak terdiri dari zat- zat yang banyak lalu menjadi satu, bahwa Tuhan adalah sesempurna-sempurnanya, bahwa perbuatan Tuhan tiada disamai oleh siapa pun. Jadi ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung pengertian dan keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, pencipta alam semesta beserta isinya. Yang juga menguasai alam seluruhnya. Dalam seluruh daya gerak negara tetap berlindung pada keridhoan Tuhan.
Keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa itu bukanlah suatu dogma atau kepercayaan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya melalui akal pikiran, melainkan suatu kepercayaan yang berakar pada pengetahuan yang benar dan dapat diuji atau dibuktikan melalui kaidah- kaidah logika. Atas keyakinan tersebut, maka Negara memberikan jaminan kebebasan kepada setiap penduduk untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Bagi dan di dalam Negara Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti Ketuhanan Yang Maha Esa dan anti keagamaan, serta tidak boleh ada paham yang meniadakan Tuhan Yang Maha Esa (ateisme), dan yang seharusnya ada ialah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan toleransi terhadap kebebasan beragama dan beribadat  menurut agama dan kepercayaan masing- masing.
Sebagai sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sumber pokok nilai- nilai kehidupan bangsa Indonesia, menjiwai dan mendasari serta membimbing perwujudan kemanusiaan yang adil dan beradab, penggalangan persatuan Indonesia yang telah membentuk Negara Republik Indonesia yang berdaulat penuh, yang bersifat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian sila pertama Pancasila memiliki makna yang luhur dalam tubuh Pancasila itu sendiri.
Sejak masyarakat Muna masih barbar (belum mengenal peradaban) sebenarnya telah mengakui adanya kekuatan lain di luar dirinya. Kekuatan itu berupa kegaiban alam semesta. Mereka menganggap bahwa jika mampu menegosiasi kekuatan lain itu hidupnya akan terbantu oleh alam semesta. Sebaliknya, jika tidak mampu bernegosiasi dengan alam semesta hidupnya akan celaka. Seiring perkembangan zaman, kepercayaan kepada tuhan mulai terlihat dan semakin membaik bahkan terdapat pada acara-acara adat.
Budaya masyarakat muna yang berhubungan dengan pengamalan sila ketuhanan adalah dalam proses acara adat kariya dan katoba .

1.      Kariya
Kariya adalah suatu prosesi upacara adat yang harus dilalui oleh setiap gadis remaja. Pada saat itu mereka diajarkan nilai-nilai keagamaan. Kariya adalah upacara adat bagi masyarakat Muna yang pertama diadakan pada masa pemerintahan Raja La Ode Husain yang bergelar Ompute Sangia terhadap putrinya yang bernama Wa Ode Kamomo Kamba. Menurut kaidah bahasa Muna bahwa karia berasal dari kata ‘kari’ yang artinya: (1) sikat atau pembersih, (2) penuh atau sesak. Pemaknaan dari simbolik nokari atau penuh, bahwa perempuan yang dikariya telah penuh pemahamannya terhadap materi yang disampaikan oleh pemangku adat atau toko agama, khususnya seluk beluk yang berkaitan dengan nilai-nilai keagamaan.
Proses ini dilakukan dengan harapan bahwa seorang wanita ketika telah diisyarati dengan ritual kariya maka dianggap lengkaplah proses pembersihan diri secara hakiki. Kepercayaan masyarakat Muna bahwa upacara ritual kariya manjadi kewajiban bagi setiap orang tua yang memiliki anak perempuan. Karena itu proses pembersihan diri melalui ritual kariya menjadi tanggung jawab orang tua. Hal itu dapat dipandang secara teoritis bahwa pembersihan diri tidak hanya dilakukan dengan air tetapi sesuai pula dengan konsepsi adat dan agama bahwa pembersihan diri dapat dilakukan dengan cara lain yaitu melalui ritual kariya.
Prosesi adat kariya sangat lama, yaitu selama empat hari empat malam. Pelaksanaan kegiatan inti dari upacara karia adal;ah proses penenpaan para gadis/ perempuan untuk melewati 4 (empat) alam sebagai proses kejadian manusia sampai dilahirkan dimuka bumi ini yaitu : (1) Alam arwa (2) alam Misal (3) alam Aj’sam (4) alam Insani.
Silogi proses pemindahan dari satu alam ke alam yang lain hinggsa manusia dilahirkan bagaikan kertas putih polos dan suci. Kronologisnya adalah sebagai berikut:
a.      Kafoluku
Kafoluku yaitu peserta yang dimasukkan dalam tempat yang telah dikemas khusus rewmapt karia yang disebut suo khusus bagi putri-putri raja dan songi untuk golongan masyarakat umum.
b.       Proses Kabansule
Yaitu proses perubahan posisi yang dipingit. Awalnya posisis kepala sebelah barat dengan baring menindis kanan selanjutnya posisinya dibalik kearah timur, ke dua tangan kanan di bawah kepala tindis kiri. Filosofi dari proses ini adalah perpindahan dari alam Arwah kea lam Aj’san. Kondisi ini konon katanya diibaratkan pada posisi bayi yang masih berada dalam kandungan yang senantiasa bergerak dan berpindah arah.
c.       Proses Kalempengi
Kalempengi diawali dengan proses DebhalengkeYaitu membuka pintu kaghombo. Pada tahapan ini proses perpindahan dari alam Aj’san kea lam insani. Para gadis dimandikan kemudian dirapikan rambut dan keningnya (dibhindu) oleh petugas atau keluarga yang diserahi tugas. Semua bulu rambut ditada pada piring yang berisi beras dan telur selanjutnya para peserta kariya siap untuk dirias dengan model pakaian kariya yang disebut kalempengi.
d.      Kafosampu (pemindahan peserta karia dari rumah ka panggung)
Pada hari ke empat menjelang magrib para gadis pingitan siap dikeluarkan dari rumah dibawa ketempat tertentu yang disebut Bhawono Koruma (panggung). Pada waktu mereka diantar kepanggung para peserta tidak boleh menginjak atau menyentuh tanah dan biasanya menggunankan bentangan kain putih dari rumah sampai ke panggung, tetapi dapat pula digendong atau disoda/dipapa oleh dua orang laki-laki. Selain itu para kariya tidak diperbolehkan membuka mata sebagai isyarat kekhusyuan menuju tempat bertangdang dipanggung.
e.       Proses Katandano Wite
Pada saat peserta yang karia smpai ditempat/panggung diisyaatakan proses pemindahan alam, dari alam missal ke alam insani. Katando wite adalah langkah ke empat dalam karia. Proses ini diakukan oleh pegawai sarah yang diawali dari peserta yang paling kanan duduknya, diatur berdasarkan urutan pertama adalah putri dari kopehano (yang punya acara).
f.       Linda
Setelah rangkaian acara selesai maka pomantoto (pemandu) melakuan tari Linda sebagai pendahuluan yang kemudian disusul oleh peserta karia secara berurutan.
g.      Kahapui (Membersihkan)
Esok harinya setelah acara kafosampu diadakanlah acara kahapui, yaitu acara ritual pemotongan pisang yang telah ditanam dan atau disiapkan dimuka rumah koparapuuno (kopehano).
h.      Kaghorono Bhansa dan atau Kafolantono Bhansa  
Filosofi dari acara ini adalah melepaskan segala etika buruk yang ada pada peserta karia. Tetapi oleh orang tua di Muna hal ini menjadi isyarat: jodoh, nasib dan takdir peserta karia. Walaupun disadari bahwa semua itu kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.    

2.      Katoba      
            Katoba merupakan salah satu upacara adat keagamaan Islam masyarakat Suku Muna di Sulawesi TenggaraIndonesia, bagi anak-anak berusia menjelang akil balik (6 sampai 12 tahun). Pada upacara adat ini, anak-anak diberi sejumlah nasihat oleh seorang imam. Upacara ini biasanya dilakukan sehari setelah upacara kangkilo, yaitu khitan. Menurut tradisi, upacara ini sudah dilakukan sejak zaman pemerintahan raja Muna bernama La Ode Abdul Rahman yang konon menerima tradisi ini dari seorang sufi keturunan Arabbernama Syarif Muhammad alias Saidhi Raba.
Pada upacara ini, anak laki-laki maupun perempuan mengenakan pakaian tradisional dan riasan, lalu dipikul di atas bahu oleh anggota-anggota keluarganya atau berjalan kaki ke rumah pemuka agama. Di sana, pemuka agama tersebut memberikan sejumlah nasihat agar anak-anak tersebut menjalankan perintah Allah dan dilarang berdosa kepada AllahNabi, dan sesama manusia. Berikut ini adalah "kalimat tobat" yang dinasihatkan kepada anak-anak di dalam upacara ini:
Amamu motehie folumo kabholosino Allah Taala;
Inanmu motehie folumo kabholosino anabi Muhamadhi;
Isamu angkafie folumo kabholosino malaekati;
Aimu asiane, piarae folumo kabholosino o muumini.
'Bapakmu, takutilah sebagai pengganti Allah Taala yang tidak tampak di mata;
'Ibumu, takutilah sebagai pengganti Nabi Muhammad yang tak tampak di mata;
'Kakakmu, ikutilah sebagai pengganti malaikat yang tak tampak di mata;
'dan adikmu, sayangilah, peliharalah, sebagai pengganti mukmin yang tak tampak, dialah mukminmu.

2.      Sila Kedua  “kemanusiaan yang adil dan beradab”

Jika dilihat dari struktur kalimatnya, sila kedua Pancasila ini tersusun atas tiga ide besar, yaitu: manusia, adil, dan beradab.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan manusia sebagai makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Menurut kamus ini, manusia dijelaskan terbatas hanya pada aspek rasionalitas. Pada hakekatnya, manusia lebih dari sekadar aspek rasionalitasnya saja. Manusia itu kompleks sekaligus dinamis. Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, berdasarkan pemikiran filosof Ortega y Gaset, menyimpulkan manusia sebagai pribadi yang memberi ruang bagi pribadi lain untuk membuat dirinya sebagai manusia penuh (manusia dimengerti sebagai pribadi yang “ada-belum-penuh”). Selain rasional, manusia juga adalah pribadi yang relasional. Dari pemikiran ini, bisa ditarik “benang merah” bahwa setiap manusia pada hakekatnya adalah sama. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dalam martabatnya. Kehadiran manusia lain menjadi penuh makna. Kehadiran orang lain mencukupi atau bahkan “memenuhi” kekurangan dari “aku”.  Maka sungguh menjadi hakekatnya bahwa manusia pasti selalu ada untuk hidup bersama, hidup bermasyarakat.
Selanjutnya KBBI menjelaskan adil sebagai sikap yang tidak berat sebelah, berpegang pada kebenaran. Lebih dalam dari sekadar pembagian hak ataupun kewajiban, Plato menjelaskan keadilan sebagai situasi dimana pikiran dan perasaan dikendalikan oleh akal budi manusia itu sendiri. Artinya, sikap hidup seorang manusia yang adil diatur oleh sistem akal budi yang merupakan tempat kebijaksanaan sejati. Keadilan pada prinsipnya harus dilihat secara bijaksana. Plato menyarankan agar manusia hendaknya bertindak sesuai dengan kecakapan ataupun talentanya masing-masing agar keadilan bisa terwujud. Sebagai contoh: jika talenta seseorang adalah kemampuan mengajar, hendaknya ia menjadi guru. Dengan demikian, ia merasakan keadilan bagi dirinya karena tuntutan talentanya itu telah terpenuhi. Singkatnya, orang yang adil akan tahu fungsi dan perannya dalam hidup bermasyarakat. Orang yang demikian tidak akan memperlakukan orang lain dengan sewenang-wenang, namun dengan penuh kebijaksanaan. Ia akan adil bagi sesamanya dan dirinya sendiri.
Jika diterjemahkan secara bebas, beradab sama artinya dengan berbudaya. Manusia yang beradab berarti manusia yang tingkah lakunya selalu dijiwai oleh nilai-nilai kebudayaan. Seperti penjelasan pada bagian pendahuluan, bangsa ini memiliki beragam budaya yang sudah ada jauh sebelum kata “Indonesia” ada. Setiap kebudayaan ini pula memiliki beragam nilai yang sangat mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Kristalisasi nilai-nilai positif budaya inilah yang kemudian melahirkan Pancasila. Karena Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia, maka setiap warga negara hendaknya menjalankan nilai-nilai budaya bangsa yang tersusun dalam sila-sila Pancasila.
Dari penjelasan singkat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab adalah suatu kesadaran akan hakekat manusia sebagai pribadi yang membutuhkan pribadi lain sehingga pribadi tersebut berlaku bijaksana terhadap dirinya dan sesama serta selalu digerakkan oleh nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia.
Budaya masyarakat muna dalam mengamalkan sila kedua pancasila “ Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” terlihat dalam tarian ewa wuna. Ewa Wuna, adalah salah satu silat tradisional khas masyarakat Suku bangsa Wuna. Gerakan Silat ini memadukan antara gerakan seni dan bela diri. Dalam prakteknya, Ewa Wuna dapat menggunakan enjata, berupa keris, parang, tombak ataupun hanya tangan kosong.
EwaWuna dalam bahasa Muna berarti Silat. Ewa Wuna dipentaskan sebagai tari penyambutan dimainkan oleh 6 orang terdiri dari 2 orang pemain badik atau kris dan 3 orang penari bermain parang, tombak dan bendera.Permainan ini diiringi oleh musik Rambi Wuna juga dimainkan 5 orang pengiring musik. Seluruh pemain berusaha menyerang akan tetapi terhalang oleh seorang pemain Petombi (pemegang bendera) sehingga seluruh pemain terhindar dari bahaya. Hal ini berarti rasa kemanusiaan lebih berarti dari pada ketajaman senjata demi kedamaian dan persatuan.
Selain tarian ewa wuna, terdapat pula tarian powele. Dalam silat tradisional powele sebenarnya memahami tentang berbagai nilai-nilai sosial budaya setempat seperti nilai-nilai tentang kesetiakawanan, kesabaran, pandangan hidup yang semua dapat dibentuk manusia yang tangguh dan mampu melindungi yang lemah serta dapat menuntun masyakat sekitar dalam kedamaian.
Silat tradisional Powele merupakan silat tradisional warisan lelur kabupaten muna yang pada umumnya merupakan peranan penting bagi masyarakat kabupaten muna. Silat tradisional Powele juga merupakan modal untuk mempertahankan kekuasaan dan perlawanan terhadap musuh yang berasal dari luar maupun dalam daerah kabupaten muna. Powele termasuk silat tradisional yang hidup dan berkembang di kabupaten muna khususnya di Kecamatan Bone, yang memiliki kaidah-kaidah gerak dan irama yang merupakan suatu pendalaman khusus. Powele sebagai silat tradisional mengikuti ketentuan-ketentuan keselarasan, keseimbangan, dan keserasian. Semakin berkembangnya kebudayaan termasuk silat tradisional powele mengalami pergeseran dan berkurangnya minat masyrakat terhadap silat tradisioanal powele. Sesuai dengan latar belakang permasalahan peneliti mendapati salah satu faktor yang membuat silat tradisional powele ini berkurang peminatnya disebabkan masyarakat menganggap silat tradisional powele merupakan sesuatu yang kuno atau bagian dari masa lalu yang cenderung menaruh minat pada hal-hal yang mengandung unsur budaya luar yang lebih popular seperti “Taekwondo” dan “Karate”. Seiring dengan perkembangan wawasan masyarakat tentang belah diri Taekwondo dan karate dapat mengancam keberadaan silat tradisional powele yang merupakan warisan leluhur dari nenek moyang kita.
Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa permasalahan ini muncul terlihat dengan adanya pengaruh minat yang ditandai dengan pesatnya kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga mampu mengubah kehidupan masyakat yang awalnya berminat penuh terhadap silat tradisional powele sebagai silat tradisional menjadi masyarakat yang lebih berminat terhadap seni belah diri populer atau modern, perkembangan pola kehidupan sosial budaya sehari-hari masyarakat Kabupaten Muna Kecamantan Bone telah menunjukan berbagai pengaruh yang sangat kuat, yang disebut pola kehidupan global. Masyarakat Kabupaten Muna Kecamatan Bone mengalami berbagai perubahan cara hidup, gaya hidup, bahkan pandangan hidup. Maka, perubahan tersebut menyebabkan sikap dan seni masyarakat enggan memelihara dan mempertahan silat tradisional. Berdasarkan permasalah yang terjadi hendaknya silat tradisional powele di Kabupaten Muna Kecamantan Bone dikembangkan kembali menjadi sebuah potensi budaya lokal yang dapat memberikan pertunjukan yang aktif dan komunikatif dengan cara merekontruksi serta mengkolaborasikan gerak silat dengan jenis silat tradisional lainnya tanpa mengubah ciri khas serta nilai-nilai yang terkandung didalamnnya.

3.      Sila Ketiga ”Persatuan Indonesia”

Dalam sila Persatuan Indonesia terkandung nilai bahwa negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manuasia monodualis yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Negara adalah suatu persekutuan hidup bersama diantara elemen-elemen yang membentuk negara yang berupa, suku, ras, kelompok, golongan maupun kelompok agama.
Oleh karena itu perbedaan merupakan bawaan kodrat manusia dan juga merupakan ciri khas elemen-elemen yang membentuk negara. Konsekuensinya negara adalah beranekaragam tetapi satu, mengikatkan diri dalam suatu persatuan yang diliukiskan dalam Bhineka Tunggal Ika. Perbedaan bukan untuk diruncingkan menjadi konflik dan permusuhan melainkan diarahkan pada suatu sintesa yang saling menguntungkan yaitu persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan bersama sebagai bangsa.
Negara mengatasi segala paham golongan, etnis, suku, ras, indvidu, maupun golongan agama. Mengatasi dalam arti memberikan wahana atas tercapainya harkat dan martabat seluruh warganya. Negara memberikan kebebasan atas individu, golongan, suku, ras, maupun golongan agama untuk merealisasikan seluruh potensinya dalam kehidupan bersama yang bersifat integral. Oleh karena itu tujuan negara dirumuskan untuk melindungi segenap warganya dan seluruh tumpah darahnya, memajukan kesejahteraan umum (kesejahteraan seluruh warganya) mencerdaskan kehidupan warganya serta dalam kaitannya dengan pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di dunia untuk mewujudkan suatu ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Keanekaragaman yang kita miliki harus dijaga sebaik mungkin. Keanekaragaman yang kita inginkan adalah keanekaragaman yang bermartabat, yang berdiri tegak di atas moral dan etika bangsa kita sesuai dengan keragaman budaya kita sendiri. Untuk menjaga keanekaragaman yang bermartabat itulah, maka berbagai hal yang mengancam keanekaragaman mesti ditolak, pada saat yang sama segala sesuatu yang mengancam moral keanekaragaman mesti diberantas.

Pokadulu

Istilah Pokadulu atau (gotong royong) sangat akrab dalam kosa kata masyarakat adat maupun keseluruhan bangsa Indonesia. Hampir setiap masyarakat adat mempunyai istilah yang mempunyai padanan dengan kelembagaan "gotong royong". Sebagai contoh, pada masyarakat Jawa dikenal dengan semangat dan kelembagaan holo pis kuntul baris; pada
masyarakat Maluku dikenal dengan pela gandhong; pada masyarakat Tapanuli dikenal istilah dalihan-nan-tolu (Siahaan, 1984); dan pada masyarakat Minahasa  dikenal  istilah  mapalus, sementara pada masyarakat Muna dikenal dengan  kata pokadulu.
          Desa Masara merupakan wilayah pesisir di Kabupaten Muna Barat tepatnya di Kecamatan Napano Kusambi. Yang dimana masyarakatnya sebagian besar hidup dengan bertani dan Nelayan. Kultur yang berkembang didalam masyarakat tidak mengesampingkan budaya pokadulu (gotong Royong)  apa yang menjadi kebutuhan masyarakat tidak bisa di selesaikan sendiri maka pokadulu selalu menjadi nilai tersendiri dalam menyelesaikan masalah itu, karena bagi mereja esensi pokadulu (gotong royong) mengandung makna kesetaraan, keadilan dan kebersamaan dalam memecahkan masalah untuk mencapai tujuan bersama.
Menurut Koentjaraningrat, (1984: 18), bahwa sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap mempunyai makna penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup.

          Sistem nilai ini berkorelasi dengan sikap (attitudea), artinya sikap ini kemudian menentukan proses internalisasi manusia sebagai identitas di dalam dirinya. Sistem ini kemudian akan mengarah pada moral individu dan selanjutnya teraktualisasi ke dalam norma-norma sosial, adat sopan santun, sebagai suatu instrumen bertata tertitib kehidupan bermasyarakat dan lingkungan domestik. Makna pemberdayaan melalui penguatan kelembagaan "gotong royong" pada masyarakat adat hanya mungkin dipahami jika dilihat dari  perspektif  sosio  budaya  bangsa  Indonesia.

         Suatu keseriusan yang harus dihadapi masyarak kita adalah tantangan global dimana dengan padatnya aktivitas manusia yang serba modern sehingga kebiasaan sebagai nilai-nilai budaya akan terkikis dengan sendirinya. Globalisasi dapat berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya suatu bangsa yang mau tidak mau, suka tidak suka telah datang dan menggeser nilai-nilai yang telah ada Memudarnya nilai adat istiadat akan mengancan hilangnya identitas cultural nasional dan local, Kehilangan arah sbg bangsa yang memiliki jati diri. Karena aspek adat istiadat atau sosio budaya sebagai faktor fundamental atau modal utama ketahanan dan kemajuan suatu bangsa. Pendeknya, jika suatu bangsa tidak mempunyai modal sosio budaya (social capital and culture) yang khas dan kuat. Maka bersiap-siaplah bangsa tersebut akan terhapus dari catatan peradaban bangsa-bangsa besar di dunia. peran nilai-nilai adat istiadat atau sosio budaya bangsa paling menentukan kemajuan suatu keluarga, masyarakat atau bangsa. Oleh karena itu perlu dilakukan pencermatan dan penguatan
terhadap, nilai-nilai adat istiadat atau sosio budaya bangsa yang bersifat spesifik.


4.      Sila Keempat “Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan”

Nilai filosofis yang terkandung di dalamnya adalah bahwa hakikat negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.Hakikat rakyat adalah merupakan sekelompok manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa yang bersatu yang bertujuan muwujudkan harkat dan martabat manusia dalam suatu wilayah negara.Rakyat adalah merupakan subjek pendukung pokok negara.Negara adalah dari, oleh dan untuk rakyat, oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan negara.Sehingga dalam sila kerakyatan terkandung nilai demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam hidup negara.
Pengamalan sila keempat pancasila terlihat dalam prosesi adat pernikahan masyarakat muna yaitu saat prosesi pelamaran. Berikut adalah tahap pelamaran suku muna:
Dalam adat melamar masyarakat Muna dikenal dengan beberapa tahap sebelum melamar dari suatu perkawinan angka mata atau perkawinan secara terbuka, antara lain:          

1.         Musyawarah (rompu)
Musyawarah ini biasa dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki untuk menentukan hari sebulum berangk at ke rumah perempuan. Di dalam musyawarah ini juga telah ditentukan orang tua dari pihak laki-laki yang akan jalan-jalan di rumah perempuan yakni sebagai pembawa kabar atau membawa janji. Adapun sebutan dari orang tua yang telah ditunjuk itu adalah kuriri (pembuka jalan/ pembawa kabar). Kuriri biasanya berjumlah dua orang yang terdiri dari keturunan sara atau pemuka adat dan walaka.
Didalam musyawarah biasanya ada salah satu kepala tokoh adat yang menjadi pimpinan dalam suatu musyawarah itu. Adapun ungkapan yang ada di dalamnya adalah sebagai berikut:
afekirie, hadae welo ngkora-ngkoranto ini minam bhekawawangia ?” (“saya pikir,mungkin dalam duduk-duduknya kita ini sudah tiada lagi yang ditunggu?”)
 “umbe”
(Iya)
aitu barangka dapo bisa-bisaraghomu, bhara lahae someowano too,sabhabuno anantomu ini nefetulumi daefenaghagho tungguno karete nekoanaghoono robhine”.
(“saat ini kita akan membicarakan kira-kira siapa yang akan membawa janji, alasannya anak kita ini meminta bantuan untuk menanyakan penjaga halaman terhadap yang punya anak perempuan)”.
umbe, ane naembali ametapa, naefie dadhumalangie.”
( iya, kalau bisa kapan kita akan jalani)
“naewine, ane pabhekapalei”.
 ( besok, kalau tiada halangan ).
 Setelah percakapan mereka selesai, maka pimpinan musyawarah menunjuk tokoh adat yang tergabung dalam musyawarah tersebut untuk menjadi pembawa kabar, serta pihak–pihak lain yang akan bertugas nanti.

2.                  Membawa Janji (Deowa too)
Setelah musyawarah, maka pihak laki-laki memerintah kedua orang tua yang telah ditunjuk untuk pergi ke rumah sang gadis dan bertemu dengan orang tua sang gadis, sekaligus memberitahu mereka bahwa akan ada beberapa orang dari pihak laki-laki yang mau datang ke rumah mereka. Dan pada saat itu juga pembawa kabar tersebut meminta agar kedatangan orang tua pihak laki-laki dapat ditunggu pada waktu yang telah ditentukan. Namun sebelum waktu yang ditetapkan pada saat deowa to itu tiba, pembawa kabar juga memberitahu keluarga perempuan kalau ada utusan keluarga laki-laki yang akan mengantarkan bahan-bahan makanan untuk disajikan pada waktu pertemuan atau bisa juga sejumlah uang, nanti pihak perempuan itu sendiri yang berbelanja.
Deowa to dalam hal ini pihak laki-laki pergi ke rumahnya sang gadis untuk membicarakan hari pertemuan kedua belah pihak. Adapun yang diutus pihak lakilaki dalam acara itu adalah hanya dua orang yakni keturunan sara dan kaomu saja, tidak keseluruhan tokoh adat dari keluarga pihak laki-laki. Ungkapan yang ada pada saat berada dirumanya perempuan adalah sebagai berikut:
Pihak laki:     “assalamuallaikum warrahmatullahi wabarakatuh”
Pihak perempuan: “ Waalaikumsalam warrahmatulahi wabarakatuh’‟ Setelah salamnya dijawab, maka masuklah pembawa kabar itu didalam rumah. Sesudah istrahat, salah satu pembawa kabar tersebut langsung membuka pokok pembicaraan.

Pihak laki-laki: “Taesalomaafuinia,bhe karatohamani”
 (kita minta maaf ini ada maksud kedatangan kami)
Pihak perempuan: “Umbe,bhara ohae itu?”
(iya, kira-kira apa itu)
Pihak laki-laki: “ Katudu nekamokulahi inia naefua namentae itu rambi fatomata nekoanaghoono moghane darumato nelambu aini”
(Suruhan dari orang tua ini dua hari lagi setelah besok pukul 04.00 pada yang punya anak laki-laki mereka tiba di rumah ini)
 Pihak perempuan: “Umbe, tatarimae anemaitu pedamo anagha
 ( iya, kita terima kalau memang sudah begitu ).

Kalau sudah ada kesepakatan dari keluarga perempuan, sebelum langkah selanjutnya maka pihak laki-laki istirahat sejenak dan dibarengi dengan cerita yang diluar inti kedatangan mereka. Setelah istirahat, pihak laki-laki melanjutkan pembicaraan mereka yakni:

 Pihak laki-laki: “Taaka taesalotora maafu aini , taesalo piri koso
(tapi kita minta maaf lagi ini, kita minta piring kosong)

Ketika mendengar permintaan itu pihak keluarga langsung memberikan piring pada pihak laki-laki. Setelah piring itu di terima dan sebelum dikembalikan, maka salah satu dari mereka menyimpan uang dalam piring tersebut guna membeli sesuatu untuk disajikan pada waktu yang telah disepakati sebelumnya. Adapun tuturan dari pembawa kabar tersebut pada saat mengembalikan piring itu adalah sebagai berikut:
Pihak laki laki: “ Aini sokapake welo poghawa-ghawaha naefua namentae itu”
(ini untuk dipake dalam pertemuan dua hari lagi setelah besok)
 Pihak perempuan: “Umbe tatarimae”
(iya, kita terima)

Dengan hal tersebut, maka berahirlah acara pada saat itu namun sebelum pulang pihak laki-laki kembali istirahat sejenak. Dan setelah istirahat mereka langsung minta izin untuk pulang, dengan tuturan sebagai berikut:

Pihak laki-laki: “Taesalomaafu inia newisentomu bhari-bharie
 (Kita mintamaaf ini didepannya kita semua)
Pihak perempuan: “Umbe” (iya)
Pihak laki-laki: “Tamealai kaitamo
(kita pamit pada semuanya)
Pihak Perempuan: “Umbe” (iya)
Pihak laki-laki: “Assalamualaikum warahmatullahi wabbarakatuh” Pihak perempuan: “Waalaikumsalam warahmatullahi wabbarakatuh”

 Melamar ( fofeena )
Pada tahap ini, pihak keluarga laki-laki datang ke rumah sang gadis sesuai dengan janji yang sudah disepakati sebelumnya untuk menanyakan siapa penunggu atau pemilik bunga-bunga di pekarangan rumah atau lebih dikenal dengan fenaghoo tungguno karete. Di dalam prosesi tersebut telah diutusnya dua orang dari pihak laki-laki yakni berupa kaomu dan sara serta beberapa orang temannya. Demikian pula yang menunggu dalam hal ini pihak perempuan ada juga kaomu dan sampuhano sara beserta orang tua atau tokoh adat dari pihak mereka. Apabila sudah ada kesepakatan dari kedua belah pihak tentang hasil dalam melamar itu, maka acara selanjutnya adalah menentukan hari dan tanggal serta pembicaraan biaya atau dalam bahasa Muna disebut sonifumaano ifi ( yang akan dimakan api ). Sonifumaano ifi tersebut bukan bagian dari mahar melainkan berupa uang yang sudah disepakati sebagai biaya penyelenggaraan prosesi pernikahan.
Melamar dilaksanakan pada waktu yang telah disepakati sebelumnya. Pada tahap ini orang tua dari pihak laki-laki berangkat kerumah sang gadis dengan jumlah sekitar 4 – 6 orang yang dilengkapai dengan kaomu dan sampuhano sara/walaka, demikian pula yang menunggu dalam hal ini pihak perempuan ada kaomu dan sampuhano sara/walaka. Di dalam fofeena ini sudah ada utusan khusus dari pihak laki-laki yang terlebih dahulu tiba dirumah pihak perempuan yakni biasa disebut dengan kuriri atau pembawa kabar. Adapun tuturan-tuturan yang ada dalam tahap ini adalah sebagai berikut:

Pihak laki laki: “Assalamuallaikum warahmatullahi wabbarakatu” Pihak perempuan: “waalaikumsalam warahmatullahi wabbarakatu” Pihak laki-laki: “Bhekaratoha mani inia, okamokulahi sorumatono tesalamu” ( Ini ada kedatangan kami , para orang tua yang akan tiba sudah dijalan „‟
Pihak perempuan: “Umbe, dasumowo deki itu?” ( iya , kita mundur dulu itu ? )
Pihak laki-laki: “paemo” (sudah tidak)

 Dan setelah percakapan tersebut maka kuriri langsung memberi tanda pada delegasi orang tua dari pihak laki-laki untuk segera langsung kerumah sang gadis. Setelah masuk ke dalam, duduk sejenak lalu salah seorang dari mereka meminta piring kosong untuk tempat menyimpan bekal dari pihak laki-laki dan biasanya kalau masyarakat Muna bekal tersebut adalah berupa rokok. Istrahat sejenak

Pihak laki-laki: “Taesalomaafu inia weloratomani ni , taaka bhara welongkora-ngkora aini minam bhekawawangia ?” (Kita minta maaf ini dalam kedatangan kami ini , tapi kira-kira dalam kita duduk-duduk ini sudah tidak ada yang ditunggu?)
Pihak perempuan: “Umbe minamu ,bhara ohaitu patudhuno ratontomu” (Iya tiada mi, kira- kira apa tujuan dari kedatangannya)
Pihak laki – laki: “ Ane naembali tametapa deki bhara nehamai sokadoliha mani sebantara itu?” ( kalau bisa kita bertanya dulu, kira – kira dimana kami menghadap sebentar ? )
Pihak perempuan “ Nemaitu” ( disitu )

Setelah pihak perempuan memberitau di mana mereka akan menoleh maka utusan pihak laki–laki tersebut mundur dan memberitau teman-temannya. Setelah itu majulah kembali utusan yang lain dari pihak laki-laki ke depan untuk mengutarakan maksud dari kedatangan mereka.
Pihak laki-laki: “Tabea,ingka welorato mani ini, katuduno kamokula, befaralu mani, bhenikosiloghoono mata mani, nekamba-kamba we karete watu bhahi nandomo dhumaganie bhahi minaho. Damakasami kalalesa, ingka insaidimo soghumondofaane, sodhumaganie kamba-kamba wekarete watu sio-siomu paeho bhe tumunggue tawae bhe ghumondofaane.”
(kedatangan kami ini diutus oleh orang tua, ada maksud kedatangan kami, ada bunga-bunga yang kami lihat di halaman itu apakah sudah ada yang menjaga atau belum, kami mohon perkenan diizinkan, kami berharap agar kami dapat memperhatikan dan menjaga bunga yang ada di halam itu, seandainya belum ada yang menjaga dan merawatnya). Pihak perempuan: “Ingka tapandehaanemu nagha patudhuntoomu, tamaka ane naembali tamandehaane, bhara lahaeno neano sotumungguno ini? pasino, aitu maka ane naembali bhara ametapa deki dua bhara bunga-bunga medano hae so nidhagani kapae no bhari bunga-bunga watu?”
(kami sudah paham maksud kedatangan tuan-tuan. Tapi kalau boleh kami mengenal, siapa nama yang akan menjaga bunga tersebut? juga karena bunga di halaman lebih dari satu, kira-kiara bunga-bunga mana yang hendak dijaga ? )
Pihak laki-laki: “Neano nimaghomani ini a Hailo anamoghaneno a Duo welo patudhu mani ingka nokosilo matamani ne bunga nitisa paka-paka” (nama laki-laki yang akan bermaksud menjaga bunga di halaman adalah La Hailo bin La Duo, ingin menjaga bunga yang pertama kali ditanam di halaman tersebut)
Pihak perempuan: “Aitu tametapa deki we simbali ne anahi bhe neinano anahi bhahi naitum sotumungguno kamba-kamba wekarete watu” ( sekarang izinkan saya untuk ke dapur/ ke kamar sang gadis untuk menanyakan hal itu kepadanya serta kepada ibunya)
Pihak perempuan: “Ingka padam tafetapa we simbali, ingka minahi bhe tumunggue, aitu intaidimo sotumungguno kamba-kamba we karete watu.”
(kami sudah menanyakan di sebelah, kata mereka, belum ada yang menunggu. Untuk itulah, kalianlah yang menjadi penunggu bunga-bunga di halaman sana.)

Makna ungkapan prosesi musyawarah
Musyawarah atau dorompuh merupakan sebuah pertemuan yang dilaksanakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan untuk mendapatkan sebuah kesepakatan. Musyawarah juga bisa diartikan sebagai wadah atau tempat untuk mencari sebuah kesepakatan. Dalam proses melamar musyawarah juga sering digunakan oleh pihak laki-laki untuk menentukan tugas masing-masing. Oleh karena itu, dalam acara ini semua orang tua yang di undang wajib untuk mengikuti musyawarah. afekirie, hadae welo ngkora-ngkoranto ini miina bhekawawangia ? ( saya pikir,mungkin dalam duduk-duduknya kita ini sudah tiada yang ditunggu) Makna dari ungkapan di atas adalah seorang pembicara secara tidak langsung ingin mengetahui apakah masih ada dari tamu undangan yang belum datang. Bhekawawangia makusdnya adalah kata yang bersifat tentang sesuatu atau seeorang yang ditunggu. Dalam adat melamar, ungkapan dari pihak laki-laki di atas memiliki makna bahwa dalam kunjungan mereka datang ke rumah pihak perempuan tersebut, sudah tidak ada yang di tunggu dari pihak perempuan yang bisa membatalkan kunjungan pihak laki-laki saat itu. Hal ini dimaksudkan, masyarakat Muna, memiliki keyakinan bahwa semua orang yang ada di dalam masyarakat sangat penting dan memiliki peranan penting. Untuk itu, semua orang dalam rumah sang gadis memiliki peranan penting dan sangat penting untuk hadir yang dapat membuat lamaran dari pihak laki-laki dapat di terima dengan baik atau tidak. Agar tidak ada penyesalan dari pihak perempuan kelak setelah menerima lamaran dari pihak laki-laki.


5.      Sila Kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”

Adalah kehidupan nasional bangsa Indonesia yang memiliki pandangan bahwa keadilan sosial adalah hak rakyat Indonesia yang terbuka  seluas-luasnya sesuai peraturan yang berlaku sehingga rakyat indonesia memiliki peluang yang  sama dalam mengusahakan kesejahteraannya dalam batas setiap kemampuannya. Hal ini lah yang membuat NKRI sangat selaras dengan nilai nilai tatanan Bali yang pada kenyataannya tatanan Bali terterapkan  jauh lebih tua umurnya ketimbang keberadaan NKRI.
Terdapat falsafah masyarakat muna yang berkaitan dengan pancasila tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seperti :
1. Tidak membiarkan rakyatnyya bercerai-berai, artinya pada budaya Bugis terdahulu raja tidak akan akan membiarkan rakyatnya bercerai-berai, apalagi saling membenci sehingga raja selalu berusaha agar rakyatnya selalu menjalin silaturahmi walaupun bukan antar keluarga. Raja terdahulu selalu berkomitmen agar rakyatnya damai dan sejahtera sehingga masyarakat Bugis selalu menjalin silaturahmi meskipun bukan hanya sesama keluarganya.
2. Tidak memejamkan mata siang dan malam, bagi masyarakat Bugis, setiap waktu itu berharga, apalagi di waktu siang dan malam, mereka tidak mau membuang-buang waktunya di waktu kosong. Masyarakat Bugis, kebanyakan mempunyai pekerjaan sebagai petani dan nelayan. Para kepala keluarga mencari rejeki dengan nelayan dan petani. Mereka sangat menyayangi keluarganya maka mereka akan banting tulang mengais rezekinya,tak melihat itu siang atau malam. Mereka terus mencari rezekinya hingga tak tidur siang atau malam, yang mereka fikirkan adalah membahagiakan keluarganya meski ia jarang memejamkan mata di siang dan malam hari.
3. Menghormati hak orang lain, bagi masyarakat Bugis, menghormati hak maupun kewajiban sesama masyarakat sangatlah penting karena setiap manusia memiliki hak. Hak yang telah diperoleh dan dibawanya sejak lahir yaitu hak asasi manusia. Hak asasi manusia berlaku sejak ia lahir dibumi tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, suku, kelamin. Budaya masyarakat Bugis mengenai hak orang lain yaitu, ia tidak pernah memndang dari suku apa, agama apa, perempuan atau laki-laki, jika itu haknya, ia akan mendahulukannya, lebbih mementingkan hak orang lain daripada haknya sendiri. Hingga sekarang budaya masyarkat ini masih berjalan dengan baik karena ini merupakan budaya yang sudah ada sejak dulu dan secara turun temutun.
4. Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan, budaya masyarakat Bugis, sebelum melakukan sesuatu tau melakukan suatu tindakan, mereka harus memikirkan secara matang dan tau apa yang akan terjadi ke depannya atau tau sebab akibat yang akan terjadi, dan inipun merupakan tugas seorang raja yang harus menganalisis setiap tindakan yang harus dilakukan dan raja yang bertanggung jawab atas tindakan yang akan dilakukan masyarakatnya.
5. Keadilan kepada masyarakat, seorang raja yang telah dipilih dan dipercayai untuk membangun masyarakat yang sejahtera. Suatu keadilan sesungguhnya memberikan pro dan kontra antar masyarakat. Adil dalam hukum yakni semua rakyat Indonesia memiliki kedudukan yang sama di mata raja atau orang yang di anggap baik untuk memimpin suatu willayah. Seorang raja harus berperilaku adil kepada semua rakyatnya tanpa membedakan rakyat yang miskin maupun kaya. Seorang raja di masyarakat Bugis sangat berbeda dengan pejabat-pejabat yang diluar sana, seorang raja di Bugis, sudah sangat adil terhadap masyarakatnya, karena sebelum ia terpilih terdapat banyak syarat yang harus ia penuhi.
Selain itu, dalam perkumpulan masyarakat muna yang mendiami suatu wilayah terdapat lembaga adat muna yang memiliki peran sangat penting dalam hubungan sosial serta menjadi pihak yang dipercaya untuk menentukan keadilan.
Keberadaan Lembaga Adat Muna sejatinya menjadi motor penggerak dalam upaya melestarikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai adat istiadat suku/etnis Muna dalam kehidupan masyarakat Muna saat ini dan dimasa mendatang.
Cukup banyak pekerjaan yang harus dilakukan oleh Lembaga Adat Muna, mulai dari menggali ketentuan dan hukum adat istiadat yang pernah dijalani oleh etnis/suku Muna dimasa silam untuk selanjutnya dilestarikan, dimanifestasikan dan didudukan pada tempatnya dalam tatanan kehidupan masyarakat Muna saat ini dan masa yang akan datang.
Selain itu, Lembaga Adat Muna juga seharusnya tampil sebagai pemberi solusi terhadap berbagai persoalan-persoalan adat istiadat pernikahan  yang muncul dan terjadi ditanah Muna. Seperti halnya perbedaan persepsi terkait dengan adhatino tombu dan adhatino ghoera. Dua hal ini kerap tumpang tindih dan menimbulkan masalah di masyarakat. Saat menyelesaikan urusan adat, terkadang tokoh adat atau pelaku adat kelabakan dengan adanya ketentuan adhatino tombu yang tidak ada/tidak diatur dalam adhatino ghoera. Untuk itu, Lembaga Adat Muna harusnya mengantisipasi hal ini dengan meluruskan keberadaan antara adhatino tombu dengan adhatino ghoera.
Persoalan lain yang juga perlu dipikirkan oleh pengurus Lembaga Adat Muna adalah terkait dengan adat dan kedudukan fetegho rumampe (ketentuan adat yang mengatur perkawinan antara orang asing dengan wanita Suku Muna). Oleh sebagian orang Muna, fetegho rumampe dianggap sebagai perlakuan diskriminatif terhadap orang Muna dan perlakukan istimewa bagi orang asing (selain suku Buton).
Hal tersebut terkait dengan keturunan dari orang asing yang langsung masuk kategri golongan dari wanita yang dinikahi/diperisteri. Misalkan saja, orang asing yang menikah dengan wanita Muna dari golongan Kaomu, maka keturunan pertama dari pasangan ini langsung masuk golongan Kaomu. Sementara disisi lain, laki-laki dari suku Muna asli yang bukan golongan Kaomu, jika menikahi wanita golongan Kaomu, keturunan dari pasangan ini tidak serta merta langsung termasuk golongan Kaomu, namun ada ketentuan adat yang berlaku yakni :
(1) Keturunan laki-laki Suka Muna dari golongan Walaka/Sara yang menikah dengan wanita dari golongan Kaomu, akan termasuk ke dalam golongan Kaomu setelah keturunan ketiga, dengan ketentuan keturunan pertama, kedua, dan ketiga menikah dengan wanita dari golongan Kaomu.
(2) Keturunan laki-laki suku Muna dari golongan Fitu Bengkauno yang menikah dengan wanita dari golongan Kaomu, akan termasuk ke dalam golongan Kaomu setelah keturunan kelima, dengan ketentuan keturunan pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima menikah dengan wanita dari golongan Kaomu.
Ketentuan adat inilah yang dianggap ganjil dan diskriminatif. Disatu sisi orang asing untuk masuk ke dalam golongan Kaomu begitu mudah, yakni cukup dengan menikahi wanita Suku Muna dari golongan Kaomu, maka keturunannya otomatis akan masuk dalam golongan Kaomu. Sementara orang asli Muna (selain golongan Kaomu) untuk masuk ke dalam golongan Kaomu harus melewati proses dan siklus yang cukup panjang.
Selain persoalan adat istiadat tersebut, Lembaga Adat Muna juga diperhadapkan dengan kenyataan bahwa rumusan adat istiadat pernikahan orang Muna selama ini hanya tersimpan dalam bentuk tradisi lisan secara turun temurun, bukan dalam bentuk dokumen tertulis.
Sehubungan hal tersebut, Lembaga Adat Muna seharusnya membuat sebuah dokumen tertulis terkait seluruh ketentuan dan aturan hukum adat istiadat pernikahan di tanah Muna.  Pembuatan buku/dokumen tertulis tersebut sangat penting artinya karena nantinya akan menjadi rujukan tertulis bagi para tokoh adat di Tanah Muna dalam melaksanakan pernikahan di daerah ini.
Jika Lembaga Adat Muna dapat menghasilkan sebuah dokumen tertulis yang memuat seluruh ketentuan dan aturan hukum adat istiadat pernikahan di tanah Muna, maka ini menjadi salah satu prestasi luar biasa karena telah berhasil melestarikan adat istiadat di tanah Muna dari tradisi lisan ke tradisi tulis dalam bentuk dokumen/buku.
Demi mewujudkan harapan dan tujuan dari terbentuknya Lembaga Adat Muna, maka sudah sejatinya jika Lembaga Adat Muna dijadikan sebagai suatu organisasi adat yang tersusun atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan, dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu, serta mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum adat dalam mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan adat istiadat dan hukum adat yang berlaku di tanah Muna.
ak kalah penting, faktor lain yang akan mendukung tercapainya harapan dan tujuan pembentukan Lembaga Adat Muna adalah keberadaan pengurus yang berkecimpung dalam Lembaga Adat Muna tersebut adalah mereka yang ditokohkan, memahami seluk beluk adat istiadat suku/etnis Muna, serta memiliki kredibilitas, moral, kelakuan dan sikap yang dapat menjadi panutan dan suri tauladan bagi tokoh adat, pelaku adat, dan masyarakat Muna lainnya.
Sosok-sosok pengurus Lembaga Adat Muna ini menjadi sangat penting karena merekalah yang akan menjalankan fungsi Lembaga Adat Muna bersama pemerintah daerah dalam merencanakan, mengarahkan, mensinergikan program pembangunan agar sesuai dengan tata nilai adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat Muna demi terwujudnya keselarasan, keserasian, keseimbangan, keadilan dan kesejahteraan masyarakat Muna.
Selain itu, sosok-sosok yang menjadi pengurus Lembaga Adat Muna juga akan menjalankan fungsi sebagai alat kontrol keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat, baik preventif maupun represif dalam menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan, penengah (hakim perdamaian) terhadap sengketa adat istiadat pernikahan yang timbul di masyarakat.
Setidaknya, Lembaga Adat Muna harus mampu menunjukkan fungsi dan peran untuk :
(1) Membantu pemerintah dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan di segala bidang, terutama dalam bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan;
(2) Melaksanakan hukum adat dan istiadat di tanah Muna secara benar;
(3) Memberikan kedudukan hukum menurut adat istiadat terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial ke-adat-an dan ke-agama-an;
(4) Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat sesuai dengan keadaan sesungguhnya dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan adat khususnya;
(5) Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan adat istiadat Muna untuk kesejahteraan masyarakat di tanah Muna.*