TUGAS
PANCASILA
Essay
”Budaya Masyarakat Muna
Dalam
Mengamalkan Sila-Sila Pancasila”
OLEH:
NAMA :
SURYANINGSIH
STAMBUK : D1B118044
PROGRAM STUDI
AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
HALU OLEO
KENDARI
2018
Budaya Masyarakat Muna
Dalam
Mengamalkan Sila-sila Pancasila
Indonesia
berpegang teguh kepada pancasila sebagai dasar negara yaitu suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara
atau penyelenggaraan negara atau sering disebut pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Pancasila mengandung nilai-nilai yang terbuka tetapi positif sesuai dengan perkembangan bangsa Indonesia sehingga pancasila sangat
erat kaitannya dengan budaya khususnya dalam hal pengamalan ke lima sila-sila
pancasila.
“Budaya
merupakan seperangkat nilai-nilai inti, kepercayaan, standar, pengetahuan,
moral hukum, dan perilaku yang disampaikan oleh individu - individu dan
masyarakat, yang menentukan bagaimana seseorang bertindak, berperasaan, dan
memandang dirinya serta orang lain” pendapat ini dikemukakan oleh
Mitchel. Artinya sebuah perilaku atau tindakan untuk dirinya atau orang lain
akan di dasari dengan sebuah pengetahuan baik itu berupa kepercayaan atau moral
yang sesuai dengan hukum. Dengan kata lain segala tindakan yang kita lakukan
harus sesuai dengan akal yang sehat dan mengikuti aturan yang berlaku.
Suatu daerah tentu lahir dari
rahim budaya yang begitu beragam dengan keunikan dan kekhasan masing sebagai
wujud khasanah budaya. Sulawesi Tenggara sebagai kawasan wilayah Timur
Indonesia juga memiliki potensi budaya dari ragam etnik/suku yang ada,
diantaranya Muna, Bugis, Buton, dan Tolaki. Masing-masing daerah membawa
karakteristik budaya yang unggul dan berbeda dengan etnik lain di tiap daerah.
Berikut disajikan keunggulan budaya yang khas dan potensial salah satu
daerahnya yaitu etnik Muna. Aspek budayanya mencakup asal-usul dan adat
istiadat, sopan santun dan ucapan salam sebagai bentuk dari kearifan lokal,
aneka kesenian, permainan tradisional, pakaian daerah, rumah adat, aneka
makanan tradisional, perayaan, serta cerita rakyat.
Pengamalan
nilai-nilai pancasila pada budaya masyarakat Indonesia dapat dilihat dari
budaya masyarakat Muna. Muna adalah salah satu suku yang berada di Provinsi
Sulawesi Tenggara dengan jumlah yang cukup banyak dan tersebar di seluruh
kabupaten kota. Masyarakat muna dalam menjalankan budayanya baik dari segi
kebiasaan dan adat istiadat mencerminkan pengamalan sila-sila pancasila.
1.
Sila Pertama “Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
Sila Pertama Pancasila memiliki nilai yang amat luhur,
demikian pula halnya dengan sila- sila yang lainnya. Makna inti yang terkandung
dalam sila pertama ini terdapat pada kata ketuhanan. Ketuhanan berasal dari kata Tuhan, ialah Allah, pencipta
segala yang ada dan semua mahkluk. Yang Maha Esa berarti Yang Maha Tunggal,
tiada sekutu: esa dalam zat-Nya, esa dalam sifat-Nya, esa dalam perbuatan-Nya,
artinya bahwa dalam zat Tuhan tidak terdiri dari zat- zat yang banyak lalu
menjadi satu, bahwa Tuhan adalah sesempurna-sempurnanya, bahwa perbuatan Tuhan
tiada disamai oleh siapa pun. Jadi ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung
pengertian dan keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, pencipta alam semesta
beserta isinya. Yang juga
menguasai alam seluruhnya. Dalam seluruh daya gerak negara tetap berlindung
pada keridhoan Tuhan.
Keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa itu bukanlah
suatu dogma atau kepercayaan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya melalui
akal pikiran, melainkan suatu kepercayaan yang berakar pada pengetahuan yang
benar dan dapat diuji atau dibuktikan melalui kaidah- kaidah logika. Atas
keyakinan tersebut, maka Negara memberikan jaminan kebebasan kepada setiap
penduduk untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya dan untuk beribadat
menurut agama dan kepercayaannya itu. Bagi dan di dalam Negara Indonesia tidak
boleh ada pertentangan dalam hal Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak boleh ada sikap
dan perbuatan yang anti Ketuhanan Yang Maha Esa dan anti keagamaan, serta tidak
boleh ada paham yang meniadakan Tuhan Yang Maha Esa (ateisme), dan yang
seharusnya ada ialah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan toleransi terhadap
kebebasan beragama dan beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-
masing.
Sebagai sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa
menjadi sumber pokok nilai- nilai kehidupan bangsa Indonesia, menjiwai dan
mendasari serta membimbing perwujudan kemanusiaan yang adil dan beradab,
penggalangan persatuan Indonesia yang telah membentuk Negara Republik Indonesia
yang berdaulat penuh, yang bersifat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, guna mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian sila pertama Pancasila memiliki
makna yang luhur dalam tubuh Pancasila itu sendiri.
Sejak masyarakat Muna masih barbar (belum mengenal peradaban)
sebenarnya telah mengakui adanya kekuatan lain di luar dirinya. Kekuatan itu
berupa kegaiban alam semesta. Mereka menganggap bahwa jika mampu menegosiasi
kekuatan lain itu hidupnya akan terbantu oleh alam semesta. Sebaliknya, jika
tidak mampu bernegosiasi dengan alam semesta hidupnya akan celaka. Seiring
perkembangan zaman, kepercayaan kepada tuhan mulai terlihat dan semakin membaik
bahkan terdapat pada acara-acara adat.
Budaya masyarakat muna yang
berhubungan dengan pengamalan sila ketuhanan adalah dalam proses acara adat kariya
dan katoba .
1.
Kariya
Kariya adalah suatu prosesi upacara adat yang harus
dilalui oleh setiap gadis remaja. Pada saat itu mereka diajarkan nilai-nilai
keagamaan. Kariya adalah upacara adat bagi masyarakat Muna yang pertama
diadakan pada masa pemerintahan Raja La Ode Husain yang bergelar Ompute Sangia
terhadap putrinya yang bernama Wa Ode Kamomo Kamba. Menurut kaidah bahasa Muna
bahwa karia berasal dari kata ‘kari’ yang artinya: (1) sikat atau
pembersih, (2) penuh atau sesak. Pemaknaan dari simbolik nokari atau penuh,
bahwa perempuan yang dikariya telah penuh pemahamannya terhadap materi yang
disampaikan oleh pemangku adat atau toko agama, khususnya seluk beluk yang
berkaitan dengan nilai-nilai keagamaan.
Proses ini dilakukan dengan harapan bahwa
seorang wanita ketika telah diisyarati dengan ritual kariya maka dianggap
lengkaplah proses pembersihan diri secara hakiki. Kepercayaan masyarakat Muna
bahwa upacara ritual kariya manjadi kewajiban bagi setiap orang tua yang
memiliki anak perempuan. Karena itu proses pembersihan diri melalui ritual
kariya menjadi tanggung jawab orang tua. Hal itu dapat dipandang secara
teoritis bahwa pembersihan diri tidak hanya dilakukan dengan air tetapi sesuai
pula dengan konsepsi adat dan agama bahwa pembersihan diri dapat dilakukan
dengan cara lain yaitu melalui ritual kariya.
Prosesi adat kariya sangat
lama, yaitu selama empat hari empat malam. Pelaksanaan kegiatan inti dari
upacara karia adal;ah proses penenpaan para gadis/ perempuan untuk melewati 4
(empat) alam sebagai proses kejadian manusia sampai dilahirkan dimuka bumi ini
yaitu : (1) Alam arwa (2) alam Misal (3) alam Aj’sam (4) alam Insani.
Silogi proses pemindahan dari
satu alam ke alam yang lain hinggsa manusia dilahirkan bagaikan kertas putih
polos dan suci. Kronologisnya adalah sebagai berikut:
a. Kafoluku
Kafoluku yaitu peserta yang
dimasukkan dalam tempat yang telah dikemas khusus rewmapt karia yang disebut
suo khusus bagi putri-putri raja dan songi untuk golongan masyarakat umum.
b. Proses Kabansule
Yaitu proses perubahan posisi
yang dipingit. Awalnya posisis kepala sebelah barat dengan baring menindis
kanan selanjutnya posisinya dibalik kearah timur, ke dua tangan kanan di bawah kepala
tindis kiri. Filosofi dari proses ini adalah perpindahan dari alam Arwah kea
lam Aj’san. Kondisi ini konon katanya diibaratkan pada posisi bayi yang masih
berada dalam kandungan yang senantiasa bergerak dan berpindah arah.
c. Proses
Kalempengi
Kalempengi diawali dengan
proses Debhalengke. Yaitu membuka pintu kaghombo. Pada tahapan ini
proses perpindahan dari alam Aj’san kea lam insani. Para gadis dimandikan
kemudian dirapikan rambut dan keningnya (dibhindu) oleh petugas atau keluarga
yang diserahi tugas. Semua bulu rambut ditada pada piring yang berisi beras dan
telur selanjutnya para peserta kariya siap untuk dirias dengan model pakaian
kariya yang disebut kalempengi.
d. Kafosampu
(pemindahan peserta karia dari rumah ka panggung)
Pada hari ke empat menjelang
magrib para gadis pingitan siap dikeluarkan dari rumah dibawa ketempat tertentu
yang disebut Bhawono Koruma (panggung). Pada waktu mereka diantar kepanggung
para peserta tidak boleh menginjak atau menyentuh tanah dan biasanya menggunankan
bentangan kain putih dari rumah sampai ke panggung, tetapi dapat pula digendong
atau disoda/dipapa oleh dua orang laki-laki. Selain itu para kariya tidak
diperbolehkan membuka mata sebagai isyarat kekhusyuan menuju tempat bertangdang
dipanggung.
e. Proses
Katandano Wite
Pada saat peserta yang karia
smpai ditempat/panggung diisyaatakan proses pemindahan alam, dari alam missal
ke alam insani. Katando wite adalah langkah ke empat dalam karia. Proses ini
diakukan oleh pegawai sarah yang diawali dari peserta yang paling kanan
duduknya, diatur berdasarkan urutan pertama adalah putri dari kopehano (yang
punya acara).
f. Linda
Setelah rangkaian acara selesai
maka pomantoto (pemandu) melakuan tari Linda sebagai pendahuluan yang kemudian
disusul oleh peserta karia secara berurutan.
g. Kahapui
(Membersihkan)
Esok harinya setelah acara
kafosampu diadakanlah acara kahapui, yaitu acara ritual pemotongan pisang yang
telah ditanam dan atau disiapkan dimuka rumah koparapuuno (kopehano).
h. Kaghorono
Bhansa dan atau Kafolantono Bhansa
Filosofi dari acara ini adalah
melepaskan segala etika buruk yang ada pada peserta karia. Tetapi oleh orang
tua di Muna hal ini menjadi isyarat: jodoh, nasib dan takdir peserta karia.
Walaupun disadari bahwa semua itu kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
2.
Katoba
Katoba merupakan
salah satu upacara adat keagamaan Islam masyarakat Suku Muna di Sulawesi Tenggara, Indonesia, bagi
anak-anak berusia menjelang akil balik (6
sampai 12 tahun). Pada upacara adat ini, anak-anak diberi sejumlah nasihat oleh
seorang imam.
Upacara ini biasanya dilakukan sehari setelah upacara kangkilo,
yaitu khitan. Menurut
tradisi, upacara ini sudah dilakukan sejak zaman pemerintahan raja Muna bernama
La Ode Abdul Rahman yang konon menerima tradisi ini dari seorang sufi keturunan Arabbernama Syarif Muhammad alias Saidhi Raba.
Pada upacara ini, anak laki-laki maupun
perempuan mengenakan pakaian tradisional dan riasan, lalu dipikul di atas bahu
oleh anggota-anggota keluarganya atau berjalan kaki ke rumah pemuka agama. Di
sana, pemuka agama tersebut memberikan sejumlah nasihat agar anak-anak tersebut
menjalankan perintah Allah dan dilarang berdosa kepada Allah, Nabi, dan sesama
manusia. Berikut ini adalah "kalimat tobat" yang dinasihatkan kepada
anak-anak di dalam upacara ini:
Amamu motehie folumo kabholosino Allah Taala;
Inanmu motehie folumo kabholosino anabi
Muhamadhi;
Isamu angkafie folumo kabholosino malaekati;
Aimu asiane, piarae folumo kabholosino o
muumini.
'Bapakmu, takutilah sebagai pengganti Allah Taala yang tidak tampak di mata;
'Ibumu, takutilah sebagai pengganti Nabi Muhammad yang tak
tampak di mata;
'Kakakmu, ikutilah sebagai pengganti malaikat yang tak tampak di mata;
'dan adikmu, sayangilah, peliharalah, sebagai
pengganti mukmin yang tak
tampak, dialah mukminmu.
2.
Sila Kedua “kemanusiaan yang adil dan beradab”
Jika dilihat dari struktur kalimatnya, sila
kedua Pancasila ini tersusun atas tiga ide besar,
yaitu: manusia, adil, dan beradab.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
menjelaskan manusia sebagai makhluk yang berakal budi (mampu
menguasai makhluk lain). Menurut kamus ini, manusia dijelaskan terbatas hanya
pada aspek rasionalitas. Pada hakekatnya, manusia lebih dari sekadar aspek
rasionalitasnya saja. Manusia itu kompleks sekaligus dinamis. Prof. Dr. Armada
Riyanto, CM, berdasarkan pemikiran filosof Ortega y Gaset, menyimpulkan manusia
sebagai pribadi yang memberi ruang bagi pribadi lain untuk membuat dirinya
sebagai manusia penuh (manusia dimengerti sebagai pribadi yang
“ada-belum-penuh”). Selain rasional, manusia juga adalah pribadi yang
relasional. Dari pemikiran ini, bisa ditarik “benang merah” bahwa setiap
manusia pada hakekatnya adalah sama. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih
rendah dalam martabatnya. Kehadiran manusia lain menjadi penuh makna. Kehadiran
orang lain mencukupi atau bahkan “memenuhi” kekurangan dari “aku”. Maka
sungguh menjadi hakekatnya bahwa manusia pasti selalu ada untuk hidup bersama,
hidup bermasyarakat.
Selanjutnya KBBI
menjelaskan adil sebagai sikap yang tidak berat sebelah, berpegang
pada kebenaran. Lebih
dalam dari sekadar pembagian hak ataupun kewajiban, Plato menjelaskan keadilan
sebagai situasi dimana pikiran dan perasaan dikendalikan oleh akal budi manusia
itu sendiri. Artinya, sikap hidup seorang manusia yang adil diatur oleh sistem
akal budi yang merupakan tempat kebijaksanaan sejati. Keadilan pada prinsipnya
harus dilihat secara bijaksana. Plato menyarankan agar manusia hendaknya
bertindak sesuai dengan kecakapan ataupun talentanya masing-masing agar
keadilan bisa terwujud. Sebagai contoh: jika talenta seseorang adalah kemampuan
mengajar, hendaknya ia menjadi guru. Dengan demikian, ia merasakan keadilan
bagi dirinya karena tuntutan talentanya itu telah terpenuhi. Singkatnya, orang
yang adil akan tahu fungsi dan perannya dalam hidup bermasyarakat. Orang yang
demikian tidak akan memperlakukan orang lain dengan sewenang-wenang, namun
dengan penuh kebijaksanaan. Ia akan adil bagi sesamanya dan dirinya
sendiri.
Jika diterjemahkan secara
bebas, beradab sama artinya dengan berbudaya. Manusia yang beradab
berarti manusia yang tingkah lakunya selalu dijiwai oleh nilai-nilai
kebudayaan. Seperti penjelasan pada bagian pendahuluan, bangsa ini memiliki
beragam budaya yang sudah ada jauh sebelum kata “Indonesia” ada. Setiap
kebudayaan ini pula memiliki beragam nilai yang sangat mempengaruhi kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia. Kristalisasi nilai-nilai positif budaya
inilah yang kemudian melahirkan Pancasila. Karena Pancasila adalah pandangan
hidup bangsa Indonesia, maka setiap warga negara hendaknya menjalankan
nilai-nilai budaya bangsa yang tersusun dalam sila-sila Pancasila.
Dari penjelasan singkat di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab adalah suatu
kesadaran akan hakekat manusia sebagai pribadi yang membutuhkan pribadi lain
sehingga pribadi tersebut berlaku bijaksana terhadap dirinya dan sesama serta
selalu digerakkan oleh nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia.
Budaya masyarakat muna dalam mengamalkan sila
kedua pancasila “ Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” terlihat dalam tarian ewa
wuna. Ewa Wuna, adalah
salah satu silat tradisional khas masyarakat Suku bangsa Wuna. Gerakan Silat
ini memadukan antara gerakan seni dan bela diri. Dalam prakteknya, Ewa Wuna
dapat menggunakan enjata, berupa keris, parang, tombak ataupun hanya tangan
kosong.
EwaWuna dalam bahasa Muna berarti Silat. Ewa Wuna dipentaskan
sebagai tari penyambutan dimainkan oleh 6 orang terdiri dari 2 orang pemain
badik atau kris dan 3 orang penari bermain parang, tombak dan bendera.Permainan
ini diiringi oleh musik Rambi Wuna juga dimainkan 5 orang pengiring musik.
Seluruh pemain berusaha menyerang akan tetapi terhalang oleh seorang
pemain Petombi (pemegang bendera) sehingga seluruh pemain terhindar dari
bahaya. Hal ini berarti rasa kemanusiaan lebih berarti dari pada ketajaman
senjata demi kedamaian dan persatuan.
Selain tarian ewa wuna, terdapat pula
tarian powele. Dalam silat
tradisional powele sebenarnya memahami tentang berbagai nilai-nilai sosial
budaya setempat seperti nilai-nilai tentang kesetiakawanan, kesabaran, pandangan
hidup yang semua dapat dibentuk manusia yang tangguh dan mampu melindungi yang
lemah serta dapat menuntun masyakat sekitar dalam kedamaian.
Silat
tradisional Powele merupakan silat tradisional warisan lelur kabupaten
muna yang pada umumnya merupakan peranan penting bagi masyarakat kabupaten
muna. Silat tradisional Powele juga merupakan modal untuk mempertahankan
kekuasaan dan perlawanan terhadap musuh yang berasal dari luar maupun dalam
daerah kabupaten muna. Powele termasuk silat tradisional yang hidup dan
berkembang di kabupaten muna khususnya di Kecamatan Bone, yang memiliki
kaidah-kaidah gerak dan irama yang merupakan suatu pendalaman khusus. Powele
sebagai silat tradisional mengikuti ketentuan-ketentuan keselarasan,
keseimbangan, dan keserasian. Semakin berkembangnya kebudayaan termasuk silat
tradisional powele mengalami pergeseran dan berkurangnya minat masyrakat
terhadap silat tradisioanal powele. Sesuai dengan latar belakang permasalahan
peneliti mendapati salah satu faktor yang membuat silat tradisional powele ini
berkurang peminatnya disebabkan masyarakat menganggap silat tradisional powele
merupakan sesuatu yang kuno atau bagian dari masa lalu yang cenderung menaruh
minat pada hal-hal yang mengandung unsur budaya luar yang lebih popular seperti
“Taekwondo” dan “Karate”. Seiring dengan perkembangan wawasan masyarakat
tentang belah diri Taekwondo dan karate dapat mengancam keberadaan silat
tradisional powele yang merupakan warisan leluhur dari nenek moyang kita.
Seperti
yang telah dikemukakan diatas bahwa permasalahan ini muncul terlihat dengan
adanya pengaruh minat yang ditandai dengan pesatnya kemajuan dibidang ilmu
pengetahuan dan teknologi sehingga mampu mengubah kehidupan masyakat yang
awalnya berminat penuh terhadap silat tradisional powele sebagai silat
tradisional menjadi masyarakat yang lebih berminat terhadap seni belah diri
populer atau modern, perkembangan pola kehidupan sosial budaya sehari-hari masyarakat
Kabupaten Muna Kecamantan Bone telah menunjukan berbagai pengaruh yang sangat
kuat, yang disebut pola kehidupan global. Masyarakat Kabupaten Muna Kecamatan
Bone mengalami berbagai perubahan cara hidup, gaya hidup, bahkan pandangan
hidup. Maka, perubahan tersebut menyebabkan sikap dan seni masyarakat enggan
memelihara dan mempertahan silat tradisional. Berdasarkan permasalah yang
terjadi hendaknya silat tradisional powele di Kabupaten Muna Kecamantan Bone
dikembangkan kembali menjadi sebuah potensi budaya lokal yang dapat memberikan
pertunjukan yang aktif dan komunikatif dengan cara merekontruksi serta
mengkolaborasikan gerak silat dengan jenis silat tradisional lainnya tanpa
mengubah ciri khas serta nilai-nilai yang terkandung didalamnnya.
3.
Sila Ketiga ”Persatuan Indonesia”
Dalam
sila Persatuan Indonesia terkandung nilai bahwa negara adalah sebagai
penjelmaan sifat kodrat manuasia monodualis yaitu sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial. Negara adalah suatu persekutuan hidup bersama diantara elemen-elemen
yang membentuk negara yang berupa, suku, ras, kelompok, golongan maupun
kelompok agama.
Oleh
karena itu perbedaan merupakan bawaan kodrat manusia dan juga merupakan ciri
khas elemen-elemen yang membentuk negara. Konsekuensinya negara adalah beranekaragam
tetapi satu, mengikatkan diri dalam suatu persatuan yang diliukiskan dalam
Bhineka Tunggal Ika. Perbedaan bukan untuk diruncingkan menjadi konflik dan
permusuhan melainkan diarahkan pada suatu sintesa yang saling menguntungkan
yaitu persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan bersama sebagai
bangsa.
Negara
mengatasi segala paham golongan, etnis, suku, ras, indvidu, maupun golongan
agama. Mengatasi dalam arti memberikan wahana atas tercapainya harkat dan
martabat seluruh warganya. Negara memberikan kebebasan atas individu, golongan,
suku, ras, maupun golongan agama untuk merealisasikan seluruh potensinya dalam
kehidupan bersama yang bersifat integral. Oleh karena itu tujuan negara
dirumuskan untuk melindungi segenap warganya dan seluruh tumpah darahnya,
memajukan kesejahteraan umum (kesejahteraan seluruh warganya) mencerdaskan
kehidupan warganya serta dalam kaitannya dengan pergaulan dengan bangsa-bangsa
lain di dunia untuk mewujudkan suatu ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Keanekaragaman
yang kita miliki harus dijaga sebaik mungkin. Keanekaragaman yang kita inginkan
adalah keanekaragaman yang bermartabat, yang berdiri tegak di atas moral dan
etika bangsa kita sesuai dengan keragaman budaya kita sendiri. Untuk menjaga
keanekaragaman yang bermartabat itulah, maka berbagai hal yang mengancam
keanekaragaman mesti ditolak, pada saat yang sama segala sesuatu yang mengancam
moral keanekaragaman mesti diberantas.
Pokadulu
Istilah Pokadulu
atau (gotong royong) sangat akrab dalam kosa kata masyarakat adat maupun
keseluruhan bangsa Indonesia. Hampir setiap masyarakat adat mempunyai istilah
yang mempunyai padanan dengan kelembagaan "gotong royong". Sebagai
contoh, pada masyarakat Jawa dikenal dengan semangat dan kelembagaan holo pis
kuntul baris; pada
masyarakat Maluku dikenal dengan pela gandhong;
pada masyarakat Tapanuli dikenal istilah dalihan-nan-tolu (Siahaan, 1984); dan
pada masyarakat
Minahasa dikenal istilah mapalus, sementara pada masyarakat Muna dikenal
dengan kata pokadulu.
Desa Masara merupakan wilayah pesisir di Kabupaten Muna Barat tepatnya
di Kecamatan Napano Kusambi. Yang dimana masyarakatnya sebagian besar hidup
dengan bertani dan Nelayan. Kultur yang berkembang didalam masyarakat tidak
mengesampingkan budaya pokadulu (gotong Royong) apa yang menjadi
kebutuhan masyarakat tidak bisa di selesaikan sendiri maka pokadulu selalu
menjadi nilai tersendiri dalam menyelesaikan masalah itu, karena bagi mereja
esensi pokadulu (gotong royong) mengandung makna kesetaraan, keadilan dan
kebersamaan dalam memecahkan masalah untuk mencapai tujuan bersama.
Menurut Koentjaraningrat, (1984: 18), bahwa sistem nilai
budaya adalah suatu rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam
pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap
mempunyai makna penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa
yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup.
Sistem nilai ini berkorelasi dengan sikap (attitudea), artinya sikap ini
kemudian menentukan proses internalisasi manusia sebagai identitas di dalam
dirinya. Sistem ini kemudian akan mengarah pada moral individu dan selanjutnya
teraktualisasi ke dalam norma-norma sosial, adat sopan santun, sebagai suatu
instrumen bertata tertitib kehidupan bermasyarakat dan lingkungan domestik.
Makna pemberdayaan melalui penguatan kelembagaan "gotong royong" pada
masyarakat adat hanya mungkin dipahami jika dilihat
dari perspektif sosio budaya bangsa Indonesia.
Suatu keseriusan yang harus dihadapi masyarak kita adalah tantangan
global dimana dengan padatnya aktivitas manusia yang serba modern sehingga
kebiasaan sebagai nilai-nilai budaya akan terkikis dengan sendirinya.
Globalisasi dapat berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya suatu bangsa yang mau
tidak mau, suka tidak suka telah datang dan menggeser nilai-nilai yang telah
ada Memudarnya nilai adat istiadat akan mengancan hilangnya identitas cultural
nasional dan local, Kehilangan arah sbg bangsa yang memiliki jati diri. Karena
aspek adat istiadat atau sosio budaya sebagai faktor fundamental atau modal
utama ketahanan dan kemajuan suatu bangsa. Pendeknya, jika suatu bangsa tidak
mempunyai modal sosio budaya (social capital and culture) yang khas dan kuat.
Maka bersiap-siaplah bangsa tersebut akan terhapus dari catatan peradaban
bangsa-bangsa besar di dunia. peran nilai-nilai adat istiadat atau sosio budaya
bangsa paling menentukan kemajuan suatu keluarga, masyarakat atau bangsa. Oleh
karena itu perlu dilakukan pencermatan dan penguatan
terhadap, nilai-nilai adat istiadat atau sosio
budaya bangsa yang bersifat spesifik.
4.
Sila Keempat “Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan”
Nilai filosofis
yang terkandung di dalamnya adalah bahwa hakikat negara adalah sebagai
penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial.Hakikat rakyat adalah merupakan sekelompok manusia sebagai makhluk Tuhan
yang Maha Esa yang bersatu yang bertujuan muwujudkan harkat dan martabat
manusia dalam suatu wilayah negara.Rakyat adalah merupakan subjek pendukung
pokok negara.Negara adalah dari, oleh dan untuk rakyat, oleh karena itu rakyat
adalah merupakan asal mula kekuasaan negara.Sehingga dalam sila kerakyatan
terkandung nilai demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam hidup
negara.
Pengamalan sila keempat pancasila terlihat dalam
prosesi adat pernikahan masyarakat muna yaitu saat prosesi pelamaran. Berikut
adalah tahap pelamaran suku muna:
Dalam adat melamar masyarakat Muna dikenal dengan beberapa tahap
sebelum melamar dari suatu perkawinan angka mata atau perkawinan secara
terbuka, antara lain:
1.
Musyawarah (rompu)
Musyawarah
ini biasa dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki untuk menentukan hari sebulum
berangk at ke rumah perempuan. Di dalam musyawarah ini juga telah ditentukan
orang tua dari pihak laki-laki yang akan jalan-jalan di rumah perempuan yakni
sebagai pembawa kabar atau membawa janji. Adapun sebutan dari orang tua yang
telah ditunjuk itu adalah kuriri (pembuka jalan/ pembawa kabar). Kuriri
biasanya berjumlah dua orang yang terdiri dari keturunan sara atau pemuka adat
dan walaka.
Didalam musyawarah biasanya ada salah satu kepala tokoh adat yang
menjadi pimpinan dalam suatu musyawarah itu. Adapun ungkapan yang ada di
dalamnya adalah sebagai berikut:
“afekirie, hadae welo
ngkora-ngkoranto ini minam bhekawawangia ?” (“saya pikir,mungkin dalam
duduk-duduknya kita ini sudah tiada lagi yang ditunggu?”)
“umbe”
(Iya)
“aitu barangka dapo bisa-bisaraghomu, bhara lahae someowano
too,sabhabuno anantomu ini nefetulumi daefenaghagho tungguno karete
nekoanaghoono robhine”.
(“saat ini kita akan membicarakan
kira-kira siapa yang akan membawa janji, alasannya anak kita ini meminta
bantuan untuk menanyakan penjaga halaman terhadap yang punya anak perempuan)”.
”umbe, ane naembali ametapa,
naefie dadhumalangie.”
( iya, kalau bisa kapan kita akan
jalani)
“naewine, ane
pabhekapalei”.
( besok, kalau tiada halangan ).
Setelah percakapan mereka selesai, maka
pimpinan musyawarah menunjuk tokoh adat yang tergabung dalam musyawarah
tersebut untuk menjadi pembawa kabar, serta pihak–pihak lain yang akan bertugas
nanti.
2.
Membawa
Janji (Deowa too)
Setelah musyawarah, maka pihak laki-laki memerintah kedua orang tua
yang telah ditunjuk untuk pergi ke rumah sang gadis dan bertemu dengan orang
tua sang gadis, sekaligus memberitahu mereka bahwa akan ada beberapa orang dari
pihak laki-laki yang mau datang ke rumah mereka. Dan pada saat itu juga pembawa
kabar tersebut meminta agar kedatangan orang tua pihak laki-laki dapat ditunggu
pada waktu yang telah ditentukan. Namun sebelum waktu yang ditetapkan pada saat
deowa to itu tiba, pembawa kabar juga memberitahu keluarga perempuan kalau ada
utusan keluarga laki-laki yang akan mengantarkan bahan-bahan makanan untuk
disajikan pada waktu pertemuan atau bisa juga sejumlah uang, nanti pihak
perempuan itu sendiri yang berbelanja.
Deowa to dalam hal ini
pihak laki-laki pergi ke rumahnya sang gadis untuk membicarakan hari pertemuan
kedua belah pihak. Adapun yang diutus pihak lakilaki dalam acara itu adalah
hanya dua orang yakni keturunan sara dan kaomu saja, tidak keseluruhan tokoh
adat dari keluarga pihak laki-laki. Ungkapan yang ada pada saat berada
dirumanya perempuan adalah sebagai berikut:
Pihak
laki: “assalamuallaikum
warrahmatullahi wabarakatuh”
Pihak
perempuan: “ Waalaikumsalam warrahmatulahi wabarakatuh’‟ Setelah salamnya
dijawab, maka masuklah pembawa kabar itu didalam rumah. Sesudah istrahat, salah
satu pembawa kabar tersebut langsung membuka pokok pembicaraan.
Pihak
laki-laki: “Taesalomaafuinia,bhe karatohamani”
(kita minta maaf ini ada maksud kedatangan
kami)
Pihak
perempuan: “Umbe,bhara ohae itu?”
(iya,
kira-kira apa itu)
Pihak laki-laki: “ Katudu nekamokulahi inia naefua namentae itu
rambi fatomata nekoanaghoono moghane darumato nelambu aini”
(Suruhan dari orang tua ini dua hari lagi setelah besok pukul 04.00
pada yang punya anak laki-laki mereka tiba di rumah ini)
Pihak perempuan: “Umbe, tatarimae anemaitu
pedamo anagha”
( iya, kita terima kalau memang sudah begitu
).
Kalau
sudah ada kesepakatan dari keluarga perempuan, sebelum langkah selanjutnya maka
pihak laki-laki istirahat sejenak dan dibarengi dengan cerita yang diluar inti
kedatangan mereka. Setelah istirahat, pihak laki-laki melanjutkan pembicaraan
mereka yakni:
Pihak laki-laki: “Taaka taesalotora maafu
aini , taesalo piri koso”
(tapi
kita minta maaf lagi ini, kita minta piring kosong)
Ketika
mendengar permintaan itu pihak keluarga langsung memberikan piring pada pihak
laki-laki. Setelah piring itu di terima dan sebelum dikembalikan, maka salah
satu dari mereka menyimpan uang dalam piring tersebut guna membeli sesuatu
untuk disajikan pada waktu yang telah disepakati sebelumnya. Adapun tuturan
dari pembawa kabar tersebut pada saat mengembalikan piring itu adalah sebagai
berikut:
Pihak
laki laki: “ Aini sokapake welo poghawa-ghawaha naefua namentae itu”
(ini
untuk dipake dalam pertemuan dua hari lagi setelah besok)
Pihak perempuan: “Umbe tatarimae”
(iya,
kita terima)
Dengan hal
tersebut, maka berahirlah acara pada saat itu namun sebelum pulang pihak
laki-laki kembali istirahat sejenak. Dan setelah istirahat mereka langsung
minta izin untuk pulang, dengan tuturan sebagai berikut:
Pihak
laki-laki: “Taesalomaafu inia newisentomu bhari-bharie”
(Kita mintamaaf ini didepannya kita semua)
Pihak
perempuan: “Umbe” (iya)
Pihak
laki-laki: “Tamealai kaitamo”
(kita
pamit pada semuanya)
Pihak
Perempuan: “Umbe” (iya)
Pihak laki-laki: “Assalamualaikum warahmatullahi wabbarakatuh”
Pihak perempuan: “Waalaikumsalam warahmatullahi wabbarakatuh”
Melamar ( fofeena )
Pada tahap ini, pihak keluarga laki-laki datang ke rumah sang gadis
sesuai dengan janji yang sudah disepakati sebelumnya untuk menanyakan siapa
penunggu atau pemilik bunga-bunga di pekarangan rumah atau lebih dikenal dengan
fenaghoo tungguno karete. Di dalam prosesi tersebut telah diutusnya dua orang
dari pihak laki-laki yakni berupa kaomu dan sara serta beberapa orang temannya.
Demikian pula yang menunggu dalam hal ini pihak perempuan ada juga kaomu dan sampuhano
sara beserta orang tua atau tokoh adat dari pihak mereka. Apabila sudah ada
kesepakatan dari kedua belah pihak tentang hasil dalam melamar itu, maka acara
selanjutnya adalah menentukan hari dan tanggal serta pembicaraan biaya atau
dalam bahasa Muna disebut sonifumaano ifi ( yang akan dimakan api ).
Sonifumaano ifi tersebut bukan bagian dari mahar melainkan berupa uang yang
sudah disepakati sebagai biaya penyelenggaraan prosesi pernikahan.
Melamar
dilaksanakan pada waktu yang telah disepakati sebelumnya. Pada tahap ini orang
tua dari pihak laki-laki berangkat kerumah sang gadis dengan jumlah sekitar 4 –
6 orang yang dilengkapai dengan kaomu dan sampuhano sara/walaka, demikian pula
yang menunggu dalam hal ini pihak perempuan ada kaomu dan sampuhano sara/walaka.
Di dalam fofeena ini sudah ada utusan khusus dari pihak laki-laki yang terlebih
dahulu tiba dirumah pihak perempuan yakni biasa disebut dengan kuriri atau
pembawa kabar. Adapun tuturan-tuturan yang ada dalam tahap ini adalah sebagai
berikut:
Pihak laki laki: “Assalamuallaikum warahmatullahi wabbarakatu”
Pihak perempuan: “waalaikumsalam warahmatullahi wabbarakatu” Pihak laki-laki: “Bhekaratoha
mani inia, okamokulahi sorumatono tesalamu” ( Ini ada kedatangan kami ,
para orang tua yang akan tiba sudah dijalan „‟
Pihak perempuan: “Umbe, dasumowo deki itu?” ( iya , kita
mundur dulu itu ? )
Pihak laki-laki: “paemo” (sudah tidak)
Dan setelah percakapan tersebut maka kuriri
langsung memberi tanda pada delegasi orang tua dari pihak laki-laki untuk segera
langsung kerumah sang gadis. Setelah masuk ke dalam, duduk sejenak lalu salah
seorang dari mereka meminta piring kosong untuk tempat menyimpan bekal dari
pihak laki-laki dan biasanya kalau masyarakat Muna bekal tersebut adalah berupa
rokok. Istrahat sejenak
Pihak laki-laki: “Taesalomaafu inia weloratomani ni , taaka
bhara welongkora-ngkora aini minam bhekawawangia ?” (Kita minta maaf ini
dalam kedatangan kami ini , tapi kira-kira dalam kita duduk-duduk ini sudah
tidak ada yang ditunggu?)
Pihak perempuan: “Umbe minamu ,bhara ohaitu patudhuno ratontomu”
(Iya tiada mi, kira- kira apa tujuan dari kedatangannya)
Pihak laki – laki: “ Ane naembali tametapa deki bhara nehamai
sokadoliha mani sebantara itu?” ( kalau bisa kita bertanya dulu, kira –
kira dimana kami menghadap sebentar ? )
Pihak perempuan “ Nemaitu” ( disitu )
Setelah pihak perempuan memberitau di mana mereka akan menoleh maka
utusan pihak laki–laki tersebut mundur dan memberitau teman-temannya. Setelah
itu majulah kembali utusan yang lain dari pihak laki-laki ke depan untuk
mengutarakan maksud dari kedatangan mereka.
Pihak laki-laki: “Tabea,ingka welorato mani ini, katuduno
kamokula, befaralu mani, bhenikosiloghoono mata mani, nekamba-kamba we karete
watu bhahi nandomo dhumaganie bhahi minaho. Damakasami kalalesa, ingka
insaidimo soghumondofaane, sodhumaganie kamba-kamba wekarete watu sio-siomu
paeho bhe tumunggue tawae bhe ghumondofaane.”
(kedatangan kami ini diutus oleh orang tua, ada maksud kedatangan
kami, ada bunga-bunga yang kami lihat di halaman itu apakah sudah ada yang
menjaga atau belum, kami mohon perkenan diizinkan, kami berharap agar kami
dapat memperhatikan dan menjaga bunga yang ada di halam itu, seandainya belum
ada yang menjaga dan merawatnya). Pihak perempuan: “Ingka tapandehaanemu
nagha patudhuntoomu, tamaka ane naembali tamandehaane, bhara lahaeno neano
sotumungguno ini? pasino, aitu maka ane naembali bhara ametapa deki dua bhara
bunga-bunga medano hae so nidhagani kapae no bhari bunga-bunga watu?”
(kami sudah paham maksud kedatangan tuan-tuan. Tapi kalau boleh
kami mengenal, siapa nama yang akan menjaga bunga tersebut? juga karena bunga
di halaman lebih dari satu, kira-kiara bunga-bunga mana yang hendak dijaga ? )
Pihak laki-laki: “Neano nimaghomani ini a Hailo anamoghaneno a
Duo welo patudhu mani ingka nokosilo matamani ne bunga nitisa paka-paka” (nama
laki-laki yang akan bermaksud menjaga bunga di halaman adalah La Hailo bin La
Duo, ingin menjaga bunga yang pertama kali ditanam di halaman tersebut)
Pihak perempuan: “Aitu tametapa deki we simbali ne anahi bhe
neinano anahi bhahi naitum sotumungguno kamba-kamba wekarete watu” (
sekarang izinkan saya untuk ke dapur/ ke kamar sang gadis untuk menanyakan hal
itu kepadanya serta kepada ibunya)
Pihak perempuan: “Ingka padam tafetapa we simbali, ingka minahi
bhe tumunggue, aitu intaidimo sotumungguno kamba-kamba we karete watu.”
(kami sudah menanyakan di sebelah, kata mereka, belum ada yang
menunggu. Untuk itulah, kalianlah yang menjadi penunggu bunga-bunga di halaman
sana.)
Makna ungkapan prosesi musyawarah
Musyawarah atau dorompuh merupakan sebuah pertemuan yang
dilaksanakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan untuk mendapatkan sebuah
kesepakatan. Musyawarah juga bisa diartikan sebagai wadah atau tempat untuk
mencari sebuah kesepakatan. Dalam proses melamar musyawarah juga sering
digunakan oleh pihak laki-laki untuk menentukan tugas masing-masing. Oleh
karena itu, dalam acara ini semua orang tua yang di undang wajib untuk
mengikuti musyawarah. afekirie, hadae welo ngkora-ngkoranto ini miina
bhekawawangia ? ( saya pikir,mungkin dalam duduk-duduknya kita ini sudah tiada
yang ditunggu) Makna dari ungkapan di atas adalah seorang pembicara secara
tidak langsung ingin mengetahui apakah masih ada dari tamu undangan yang belum
datang. Bhekawawangia makusdnya adalah kata yang bersifat tentang sesuatu atau
seeorang yang ditunggu. Dalam adat melamar, ungkapan dari pihak laki-laki di
atas memiliki makna bahwa dalam kunjungan mereka datang ke rumah pihak
perempuan tersebut, sudah tidak ada yang di tunggu dari pihak perempuan yang
bisa membatalkan kunjungan pihak laki-laki saat itu. Hal ini dimaksudkan,
masyarakat Muna, memiliki keyakinan bahwa semua orang yang ada di dalam
masyarakat sangat penting dan memiliki peranan penting. Untuk itu, semua orang
dalam rumah sang gadis memiliki peranan penting dan sangat penting untuk hadir
yang dapat membuat lamaran dari pihak laki-laki dapat di terima dengan baik
atau tidak. Agar tidak ada penyesalan dari pihak perempuan kelak setelah
menerima lamaran dari pihak laki-laki.
5.
Sila Kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia”
Adalah kehidupan nasional bangsa Indonesia yang
memiliki pandangan bahwa keadilan sosial adalah hak rakyat Indonesia yang
terbuka seluas-luasnya sesuai peraturan yang berlaku sehingga rakyat
indonesia memiliki peluang yang sama dalam mengusahakan kesejahteraannya
dalam batas setiap kemampuannya. Hal ini lah yang membuat NKRI sangat selaras
dengan nilai nilai tatanan Bali yang pada kenyataannya tatanan Bali
terterapkan jauh lebih tua umurnya ketimbang keberadaan NKRI.
Terdapat falsafah masyarakat muna
yang berkaitan dengan pancasila tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia seperti :
1. Tidak membiarkan rakyatnyya bercerai-berai, artinya pada budaya
Bugis terdahulu raja tidak akan akan membiarkan rakyatnya bercerai-berai,
apalagi saling membenci sehingga raja selalu berusaha agar rakyatnya selalu
menjalin silaturahmi walaupun bukan antar keluarga. Raja terdahulu selalu
berkomitmen agar rakyatnya damai dan sejahtera sehingga masyarakat Bugis selalu
menjalin silaturahmi meskipun bukan hanya sesama keluarganya.
2. Tidak memejamkan mata siang dan malam, bagi masyarakat Bugis,
setiap waktu itu berharga, apalagi di waktu siang dan malam, mereka tidak mau
membuang-buang waktunya di waktu kosong. Masyarakat Bugis, kebanyakan mempunyai
pekerjaan sebagai petani dan nelayan. Para kepala keluarga mencari rejeki
dengan nelayan dan petani. Mereka sangat menyayangi keluarganya maka mereka
akan banting tulang mengais rezekinya,tak melihat itu siang atau malam. Mereka
terus mencari rezekinya hingga tak tidur siang atau malam, yang mereka fikirkan
adalah membahagiakan keluarganya meski ia jarang memejamkan mata di siang dan
malam hari.
3. Menghormati hak orang lain, bagi masyarakat Bugis, menghormati
hak maupun kewajiban sesama masyarakat sangatlah penting karena setiap manusia
memiliki hak. Hak yang telah diperoleh dan dibawanya sejak lahir yaitu hak
asasi manusia. Hak asasi manusia berlaku sejak ia lahir dibumi tanpa perbedaan
atas dasar bangsa, ras, agama, suku, kelamin. Budaya masyarakat Bugis mengenai
hak orang lain yaitu, ia tidak pernah memndang dari suku apa, agama apa,
perempuan atau laki-laki, jika itu haknya, ia akan mendahulukannya, lebbih
mementingkan hak orang lain daripada haknya sendiri. Hingga sekarang budaya
masyarkat ini masih berjalan dengan baik karena ini merupakan budaya yang sudah
ada sejak dulu dan secara turun temutun.
4. Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan,
budaya masyarakat Bugis, sebelum melakukan sesuatu tau melakukan suatu
tindakan, mereka harus memikirkan secara matang dan tau apa yang akan terjadi
ke depannya atau tau sebab akibat yang akan terjadi, dan inipun merupakan tugas
seorang raja yang harus menganalisis setiap tindakan yang harus dilakukan dan
raja yang bertanggung jawab atas tindakan yang akan dilakukan masyarakatnya.
5. Keadilan kepada masyarakat, seorang raja yang telah dipilih dan
dipercayai untuk membangun masyarakat yang sejahtera. Suatu keadilan
sesungguhnya memberikan pro dan kontra antar masyarakat. Adil dalam hukum yakni
semua rakyat Indonesia memiliki kedudukan yang sama di mata raja atau orang
yang di anggap baik untuk memimpin suatu willayah. Seorang raja harus
berperilaku adil kepada semua rakyatnya tanpa membedakan rakyat yang miskin
maupun kaya. Seorang raja di masyarakat Bugis sangat berbeda dengan pejabat-pejabat
yang diluar sana, seorang raja di Bugis, sudah sangat adil terhadap
masyarakatnya, karena sebelum ia terpilih terdapat banyak syarat yang harus ia
penuhi.
Selain itu, dalam perkumpulan masyarakat muna yang mendiami suatu
wilayah terdapat lembaga adat muna yang memiliki peran sangat penting dalam
hubungan sosial serta menjadi pihak yang dipercaya untuk menentukan keadilan.
Keberadaan Lembaga Adat Muna
sejatinya menjadi motor penggerak dalam upaya melestarikan dan
mengaktualisasikan nilai-nilai adat istiadat suku/etnis Muna dalam kehidupan
masyarakat Muna saat ini dan dimasa mendatang.
Cukup banyak pekerjaan yang harus
dilakukan oleh Lembaga Adat Muna, mulai dari menggali ketentuan dan hukum adat
istiadat yang pernah dijalani oleh etnis/suku Muna dimasa silam untuk
selanjutnya dilestarikan, dimanifestasikan dan didudukan pada tempatnya dalam
tatanan kehidupan masyarakat Muna saat ini dan masa yang akan datang.
Selain itu, Lembaga Adat Muna juga seharusnya tampil sebagai
pemberi solusi terhadap berbagai persoalan-persoalan adat istiadat
pernikahan yang muncul dan terjadi ditanah Muna. Seperti halnya perbedaan
persepsi terkait dengan adhatino tombu dan adhatino ghoera. Dua
hal ini kerap tumpang tindih dan menimbulkan masalah di masyarakat. Saat
menyelesaikan urusan adat, terkadang tokoh adat atau pelaku adat kelabakan
dengan adanya ketentuan adhatino tombu yang tidak ada/tidak diatur dalam
adhatino ghoera. Untuk itu, Lembaga Adat Muna harusnya mengantisipasi
hal ini dengan meluruskan keberadaan antara adhatino tombu dengan adhatino
ghoera.
Persoalan lain yang juga perlu
dipikirkan oleh pengurus Lembaga Adat Muna adalah terkait dengan adat dan
kedudukan fetegho rumampe (ketentuan adat yang mengatur perkawinan
antara orang asing dengan wanita Suku Muna). Oleh sebagian orang Muna, fetegho
rumampe dianggap sebagai perlakuan diskriminatif terhadap orang Muna dan
perlakukan istimewa bagi orang asing (selain suku Buton).
Hal tersebut terkait dengan
keturunan dari orang asing yang langsung masuk kategri golongan dari wanita
yang dinikahi/diperisteri. Misalkan saja, orang asing yang menikah dengan
wanita Muna dari golongan Kaomu, maka keturunan pertama dari pasangan ini langsung
masuk golongan Kaomu. Sementara disisi lain, laki-laki dari suku Muna asli yang
bukan golongan Kaomu, jika menikahi wanita golongan Kaomu, keturunan dari
pasangan ini tidak serta merta langsung termasuk golongan Kaomu, namun ada
ketentuan adat yang berlaku yakni :
(1) Keturunan laki-laki Suka Muna
dari golongan Walaka/Sara yang menikah dengan wanita dari golongan Kaomu, akan
termasuk ke dalam golongan Kaomu setelah keturunan ketiga, dengan ketentuan
keturunan pertama, kedua, dan ketiga menikah dengan wanita dari golongan Kaomu.
(2) Keturunan laki-laki suku Muna
dari golongan Fitu Bengkauno yang menikah dengan wanita dari golongan Kaomu,
akan termasuk ke dalam golongan Kaomu setelah keturunan kelima, dengan
ketentuan keturunan pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima menikah dengan
wanita dari golongan Kaomu.
Ketentuan adat inilah yang
dianggap ganjil dan diskriminatif. Disatu sisi orang asing untuk masuk ke dalam
golongan Kaomu begitu mudah, yakni cukup dengan menikahi wanita Suku Muna dari
golongan Kaomu, maka keturunannya otomatis akan masuk dalam golongan Kaomu.
Sementara orang asli Muna (selain golongan Kaomu) untuk masuk ke dalam golongan
Kaomu harus melewati proses dan siklus yang cukup panjang.
Selain persoalan adat istiadat
tersebut, Lembaga Adat Muna juga diperhadapkan dengan kenyataan bahwa rumusan
adat istiadat pernikahan orang Muna selama ini hanya tersimpan dalam bentuk
tradisi lisan secara turun temurun, bukan dalam bentuk dokumen tertulis.
Sehubungan hal tersebut, Lembaga
Adat Muna seharusnya membuat sebuah dokumen tertulis terkait seluruh ketentuan
dan aturan hukum adat istiadat pernikahan di tanah Muna. Pembuatan
buku/dokumen tertulis tersebut sangat penting artinya karena nantinya akan
menjadi rujukan tertulis bagi para tokoh adat di Tanah Muna dalam melaksanakan
pernikahan di daerah ini.
Jika Lembaga Adat Muna dapat
menghasilkan sebuah dokumen tertulis yang memuat seluruh ketentuan dan aturan
hukum adat istiadat pernikahan di tanah Muna, maka ini menjadi salah satu
prestasi luar biasa karena telah berhasil melestarikan adat istiadat di tanah
Muna dari tradisi lisan ke tradisi tulis dalam bentuk dokumen/buku.
Demi mewujudkan harapan dan tujuan dari terbentuknya Lembaga
Adat Muna, maka sudah sejatinya jika Lembaga Adat Muna dijadikan sebagai suatu
organisasi adat yang tersusun atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan, dan
relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu, serta mempunyai otoritas
formal dan sanksi hukum adat dalam mengurus dan menyelesaikan berbagai
permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan adat istiadat dan hukum adat yang
berlaku di tanah Muna.
ak kalah penting, faktor lain
yang akan mendukung tercapainya harapan dan tujuan pembentukan Lembaga Adat
Muna adalah keberadaan pengurus yang berkecimpung dalam Lembaga Adat Muna tersebut
adalah mereka yang ditokohkan, memahami seluk beluk adat istiadat suku/etnis
Muna, serta memiliki kredibilitas, moral, kelakuan dan sikap yang dapat menjadi
panutan dan suri tauladan bagi tokoh adat, pelaku adat, dan masyarakat Muna
lainnya.
Sosok-sosok pengurus Lembaga Adat
Muna ini menjadi sangat penting karena merekalah yang akan menjalankan fungsi
Lembaga Adat Muna bersama pemerintah daerah dalam merencanakan, mengarahkan,
mensinergikan program pembangunan agar sesuai dengan tata nilai adat istiadat
dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat Muna demi terwujudnya
keselarasan, keserasian, keseimbangan, keadilan dan kesejahteraan masyarakat
Muna.
Selain itu, sosok-sosok yang
menjadi pengurus Lembaga Adat Muna juga akan menjalankan fungsi sebagai alat
kontrol keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat, baik
preventif maupun represif dalam menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan,
penengah (hakim perdamaian) terhadap sengketa adat istiadat pernikahan yang
timbul di masyarakat.
Setidaknya, Lembaga Adat Muna
harus mampu menunjukkan fungsi dan peran untuk :
(1) Membantu pemerintah dalam
kelancaran dan pelaksanaan pembangunan di segala bidang, terutama dalam bidang
keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan;
(2) Melaksanakan hukum adat dan
istiadat di tanah Muna secara benar;
(3) Memberikan kedudukan hukum
menurut adat istiadat terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan
hubungan sosial ke-adat-an dan ke-agama-an;
(4) Membina dan mengembangkan
nilai-nilai adat sesuai dengan keadaan sesungguhnya dalam rangka memperkaya,
melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan
adat khususnya;
(5) Menjaga, memelihara dan
memanfaatkan kekayaan adat istiadat Muna untuk kesejahteraan masyarakat di
tanah Muna.*